Kamis, 22 Juli 2010

Chris Eubank, Petinju Dunia yang Juga Menjadi Mualaf


REPUBLIKA.CO.ID, LONDON--"Saya mulai berpikir tentang indahnya Islam di di Kairo dan menyatakan keislaman saya di Dubai." (Chris Eubank)

Petinju Inggris, Chris Eubank, mengejutkan dunia olahraga di Inggris ketika ia mengumumkan berpindah keyakinan dan menganut Islam pada Maret 1997. Ia mengubah namanya menjadi Hamdan. Dia telah mempelajari Islam untuk sementara waktu dan memutuskan untuk menerimanya setelah itu. Eubank menjadi Muslim setelah kemenangannya atas petinju Kolombia Camilo Alarcon di Dubai pada tahun yang sama.

Eubank, yang memenangkan berbagai kejuaraan tinju dunia, dikenal karena penampilan yang elegan dan gaya bicaranya filosofis. Petinju kelas dunia lain yang kerap disejajarkan dengan dia adalah Muhammad Ali dan Mike Tyson, yang juga telah memeluk Islam.

Eubank memulai perjalanan imannya yang membuat pria bernama asli Christopher Livingstone Eubanks ini memeluk Islam dengan mempelajari agama ini, terutama mengenai prinsip-prinsip ajarannya. Kehadirannya di Kairo untuk berlaga, membawanya pada hikmah lain: dibukakan matanya akan keagungan Islam. Batinnya bergolak, bergemuruh seperti sorak-sorai pendukungnya ketika dia mengkanvas lawan-lawannya, saat ia makin yakin akan Islam, dan ingin segera menyatakan syahadat.

Namun berbanding terbalik dengan keperkasaannya di atas ring tinju, ia tak berani bercerita tentang pergolakan batinnya itu pada siapapun. Eubank merahasiakannya. Baru beberapa bulan kemudian, ia memutuskan untuk mengumumkan konversinya ke Islam dan mengubah namanya di Dubai. Kabar ini dengan cepat dilaporkan oleh pers Inggris.

Eubank telah mempelajari Islam selama dua tahun sebelum mengumumkan konversi untuk itu. Dia juga mengunjungi Mike Tyson di penjara selama jangka waktu tersebut. Saat itu, Tyson yang mengingkuk di balik jeruji besi karena dituduh memperkosa salah satu kontestan Miss Amerika telah lebih dulu menjadi Muslim.

Kunjungannya ke Amerika Serikat dilakukan khusus untuk menemui petinju dunia itu, setelah dia berada di ujung pencarian tentang agama. Ia menyewa pesawat pribadi ke Amerika Serikat hanya demi menemui Tyson.

Dalam obrolan itu, Tyson sempat bertanya apakah ia akan menjadi Muslim suatu hari. Ia hanya menjawab singkat, "Kita tidak harus pergi terlalu jauh. saya telah menjelaskan lebih dari sekali selama bulan-bulan terakhir yang saya sedang belajar agama, semua agama, termasuk Islam." Obrolan itu, juga diingat dengan baik oleh Tyson.

"Islam itu agama yang hebat, tapi, sayangnya, itu terdistorsi oleh minoritas ekstremis yang telah melakukan banyak merugikan diri mereka sendiri dan umat Islam melalui tindakan mereka yang tidak ada hubungannya dengan ajaran Islam toleran," ujar Eubank.

Pria kelahiran 8 Agustus 1966 ini menjadi Muslim bukan karena "latah" mengikuti Tyson dan Muhammad Ali. Walau ia mengakui, Tyson makin membukakan matanya pada Islam. Sebelumnya, ia melakukan studi mengenai agama untuk beberapa waktu, di antara yang merupakan studi komparatif Islam dan agama lain. "Setelah ini, saya mencapai keputusan yang mengharuskan beberapa waktu untuk mengambil. Ada dorongan yang begitu kuat untuk mengumumkan konversi saya ke Islam, maka keputusan konversi saya umumkan di depan publik di Dubai. "

Keputusan Eubank untuk memeluk Islam dengan tujuan memelihara kebersihan pikirannya di dunia tinju telah menimbulkan reaksi yang berbeda di dunia olahraga Inggris.Namun ia sudah bulat dengan keputusannya, dan tak ada cerita surut ke belakang.

"Ini pertempuran batin yang sungguh sulit saya menangkan sebelumnya; saya sadar publik Inggris akan mencemooh saya dan popularitas saya merosot. Namun di sisi lain, saya adalah Chris Eubank, manusia yang membutuhkan Islam," ujarnya.

Ia kemudian menarik diri ke dalam pemikiran filosofis yang lebih dalam. "Akan sangat menyedihkan membatasi peran saya dalam hidup untuk hanya menjadi petinju sukses atau olahragawan yang hanya peduli tentang mobil dan pakaian," katanya. "Maka saya memutuskan mengumumkan keislaman saya."

Ia memilih "Hamdan" sebagai  nama Muslimnya, yang disisipkan di depan nama aslinya. Namun, pers kerap mengabaikan hal itu dan menulis nama lamanya. "Tidak mengapa mereka tak mencantumkan nama baru itu. Tapi mereka tahu bahwa ketika harus menulis hal yang terkait dengan identitas keagamaan saya, maka kata Islam harus ditulis, karena kini saya seorang Muslim, dan saya bangga menjadi Muslim," ujarnya.
Red: Siwi Tri Puji B
Sumber: Berbagai sumber

Minggu, 04 Juli 2010

Polwan AS: Allah Telah Mengirim Islam ke Rumah Saya

Rabu, 10/12/2008 14:51 WIB | email | print | share
Linda (Widad) Delgado, terlahir sebagai seorang Kristiani dan sejak usia 9 tahun sudah rajin membaca Alkitab. Namun itu tidak menjadikannya percaya begitu saja pada agama Kristen yang dianutnya, oleh sebab itu sampai usia 52 tahun, Linda terus terus melakukan pencarian untuk menemukan kebenaran sejati tentang Tuhan.
Selama puluhan tahun, Linda yang tidak pernah menjadi anggota jamaah salah satu gereja, mempelajari ajaran agama Katolik, Protestan, Mormon, Yehovah sampai agama Yahudi. Namun Linda masih belum bisa menerima ajaran-ajaran agama tersebut.
"Hati saya berkata bahwa Yesus bukan Tuhan tapi hanya seorang nabi. Hati kecil saya berkata, Adam dan Hawa bertanggung jawab atas dosa-dosa mereka sendiri, dan bukan saya. Hati kecil saya berkata, saya selayaknya berdoa pada Tuhan dan bukan pada yang lain. Akal saya mengatakan juga bahwa saya harus bertanggung jawab atas perbuatan baik dan perbuatan buruk yang saya lakukan," tutur Linda.
Linda yang bekerja sebagai polisi di Arizona, AS mengaku selama itu pula ia tidak pernah berkomunikasi dengan Muslim. Ia, seperti kebanyakan orang Barat, terlalu banyak membaca pemberitaan di media massa tentang agama Islam, yang disebut-sebut sebagai agama yang dianut para teroris fanatik.
"Itulah sebabnya, saya tidak pernah mencoba mencari buku-buku atau informasi tentang Islam. Saya tidak tahu apapun tentang agama ini," kata Linda.
Awal Perjalanan
Pada usia 52 tahun, Linda dan suaminya yang juga polisi, pensiun dari dinas kepolisian tepatnya pada tahun 2000. Saat itulah ia bertemu seorang penerbang yang minta tolong mencarikan rumah bagi sejumlah polisi asal Arab Saudi yang sedang berada di AS dalam rangka belajar bahasa Inggris dan tugas belajar di akademi kepolisian di Arizona. Para polisi Arab Saudi itu berharap bisa tinggal dengan keluarga Amerika agar mereka bisa mempraktekkan bahasa Inggris dan belajar tentang budaya masyarakat Amerika.
Saat itu, Linda dan suaminya tinggal tidak jauh dengan puteranya yang menjadi orang tua tunggal untuk seorang puterinya. Setelah berdiskusi dengan suaminya, Linda menyatakan bersedia membantu para polisi Arab Saudi itu. Saat itu ia berpikir, ini akan menjadi kesempatan untuk cucu perempuannya belajar tentang orang-orang dari negara lain. Tapi Linda mengaku agak khawatir saat diberitahu bahwa polisi-polisi Saudi itu beragama Islam.
Kemudian seorang penerjemah dari Universitas Arizona mengenalkan anak muda dan tidak bisa berbahasa Inggris. Namanya Abdul. Dialah polisi Saudi yang akan tinggal bersama keluarga Linda. Keluarga Linda cepat akrab dan menyukai Abdul karena perilaku Abdul yang santun.
"Abdul mengatakan, bahwa saya adalah non-Muslim pertama yang pernah diajarkannya tentang Islam," ujar Linda.
Setelah Abdul, kemudian datang Fahd. Usia Fahd lebih muda dan sangat pemalu. Selain menjadi tutor, Linda, Abdul dan Fahd berdiskusi tentang banyak hal, mulai dari pekerjaan sebagai polisi, tentang AS, tentang Arab Saudi dan tentang Islam. Linda mengamati bagaimana Abdul dan Fahd serta 16 anggota polisi Saudi lainnya yang sedang belajar di AS itu saling membantu satu sama lain. Dan Linda mengaku kagum pada Fahd dan Abdul yang sama sekali tidak terpengaruh dengan budaya Amerika meski mereka sudah satu tahun tinggal di AS.
"Mereka pergi ke masjid setiap hari Jumat, mereka tetap salat meski mereka sangat lelah dan mereka selalu hati-hati dengan apa yang mereka makan. Mereka menunjukkan pada saya bagaimana memasak beberapa masakan tradisional Arab Saudi, mengajak saya ke restoran dan pasar warga Arab. Mereka juga sangat baik pada cucu saya, memberikannya banyak hadiah, lelucon dan persahatan," ungkap Linda.
Suatu hari, Linda menanyakan pada mereka apakah punya al-Quran lebih, karena Linda ingin membaca apa sebenarnya isi al-Quran. Fahd dan Abdul lalu menghubungi kedutaan besar Saudi di Washington DC dan minta dikirimkan al-Quran dengan terjemahan bahasa Inggris agar bisa dibaca Linda. Setelah itu, Linda sering bertanya tentang Islam pada dua polisi muda Saudi itu.
Dalam satu kesempatan, salah seorang polisi Saudi meminta istrinya datang dan tinggal di AS. Linda diundang ke rumah mereka dan disana Linda banyak bertanya pada istri polisi tadi tentang busana muslim, wudhu dan banyak hal tentang Islam.
Seminggu sebelum "anak-anak angkat" Linda kembali ke Arab Saudi, ia mengadakan makan malam bersama seluruh keluarga. Linda sengaja membeli jilbab dan baju abaya untuk dikenakan saat malam itu. Linda ingin "anak-anak angkat"nya mengingatnya sebagai saudara perempuan yang mengenakan busana muslimah yang baik.
Sebelum mereka makan malam itu, Linda memutuskan untuk mengucapkan syahadat. Kedua polisi muda itu sangat terharu. Mereka menangis sekaligus tersenyum bahagia melihat Linda menjadi seorang Muslimah.
"Dalam hati saya percaya bahwa Allah telah mengirim kedua anak itu pada saya untuk menjawab doa-doa saya selama puluhan tahun. Saya percaya Dia telah memilih saya untuk melihat kebenaran dan cahaya Islam. Saya percaya Allah telah mengirimkan Islam ke rumah saya. Saya bersyukur Allah telah melimpahkan kasih sayang dan cintaNya pada saya," tutur Linda tentang keislamannya.
Menjadi Seorang Muslimah
Setelah "anak-anak angkat"nya kembali ke Saudi, Linda secara resmi mendaftarkan dirinya sebagai seorang Muslim dan bergabung dengan sebuah masjid lokal. Linda mengakui, keluarga besarnya masih terkaget-kaget dengan keputusannya memeluk Islam. Mereka berpikir Linda tidak akan lama menjadi seorang Muslim dan dengan cepat akan segera berpindah ke agama lain seperti yang ia lakukan saat masa mudanya dulu.
Beruntung suami Linda orang yang sangat terbuka. Ketika Linda mengatakan bahwa mulai sekarang mereka harus makan makanan halal dan meninggalkan makanan yang diharamkan Islam, suaminya hanya menjawab "okay". Linda juga mulai menyingkirkan foto-foto manusia dan gambar binatang yang dipajang di rumahnya. Linda tidak lupa menulis surat pada teman-teman dan keluarganya yang non-Muslim, mengabarkan bahwa sekarang ia menjadi seorang Muslim dan itu tidak akan mengubah hubungan mereka.
Sambil terus menjelaskan tentang rukun Islam pada keluarganya, Linda juga belajar salat dan membaca al-Quran, aktif dalam kegiatan Muslimah dan banyak menambah wawasan tentang Islam lewat internet. Lewat internet pula Linda bertemu dengan seorang Muslimah asal Kuwait yang mengiriminya paket berisi jilbab, kaos kaki dan abaya. Sahabatnya itu mengucapkan selamat atas keputusannya menjadi seorang Muslim.
Linda bukannya tidak menghadapi kesulitan beradaptasi dengan sesama Muslimah yang ia jumpai. Dari beberapa masjid yang ia kunjungi, Linda memahami bahwa kelompok-kelompok Muslim di sebuah masjid berkumpul biasanya karena persamaan budaya dan bahasa. Linda pernah merasa menjadi "orang asing" di tengah Muslim yang tidak terlalu mempedulikan kehadirannya. Namun Linda lebih banyak menemukan Muslim yang terbuka, hangat dan siap membantunya untuk belajar Islam.
Sampai sekarang, Linda masih terus belajar dan belajar. Ia kini mengelola situsnya www.widad-lld.com dan menjadi direktur untuk Islamic Writers Alliance. (ln/iol)

Mantan Gay: Islam Membimbingku ke Jalan Lurus

Selasa, 24/02/2009 17:14 WIB | email | print | share
Ia menyebut namanya Ayub, seorang laki-laki Amerika yang memiliki kecenderungan menyukai sesama jenis alias homoseks. Namun Ayub berhasil melepaskan kecenderungannya itu setelah ia memeluk Islam.
Di jaman modern ini, banyak negara yang menerima hubungan semacam itu bahkan melindungi kaum gay dan lesbian dengan alasan hak asasi manusia.
Masyarakat dunia, bahkan di komunitas Muslim, boleh dibilang makin permisif dengan hubungan sesama jenis. Mereka mengaku tidak bisa menolak kelompok ini dan meyakini bahwa Tuhan juga yang telah menciptakan manusia dalam kondisi seperti itu.
Tapi keyakinan itu dibantah Ayub. "Saya menemukan jalan yang berbeda, dengan rahmat Allah, saya berhasil melepaskan diri dari kecenderungan menyukai sesama jenis dan berhasil meninggalkan gaya hidup kaum homo. Saya bisa melakukannya setelah saya memeluk Islam," ujarnya.
"Saya ingin berbagi pengalaman, bukan untuk memicu perdebatan tapi karena saya meyakini bahwa pengalaman saya ini bisa membantu siapa saja yang memiliki menyukai sesama jenis. Saya juga berdoa agar perkataan-perkataan saya bisa memberikan bimbingan bagi para keluarga yang juga sedang berjuang melepaskan salah satu anggota keluarganya dari kecenderungan itu," jelas Ayub.
Ayub mengaku sudah menyukai sesama jenis sejak ia masih remaja. Kecenderungannya itu makin kuat ketika ia di bangku kuliah dan akhirnya malah terjerumus dalam gaya hidup kaum homoseks. Ia secara terbuka menjalani kehidupan sebagai seorang gay selama lima tahun.
"Saya menjalaninya karena ketika itu saya berpikir bahwa saya memang diciptakan begini. Kecenderungan menyukai sesama jenis itu muncul begitu saja tanpa saya mampu mengontrolnya. Saya sendiri bingung bagaimana kecenderungan itu bisa menghinggapi diri saya," tutur Ayub.
Setelah lima tahun menjalani kehidupan nista itu, Ayub mulai berpikir dan mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mengapa dia bisa sampai hidup sebagai gay, pasti ada cara lain untuk memandang sisi kehidupan ini.
Mengenal Islam
Ayub yang mengaku dibesarkan dalam keluarga yang menganut agama Kristen, tidak pernah puas dengan ajaran Kristen. "Saat dan setelah saya lulus dari akademi, saya mengeksplorasi tentang ajaran agama Budha, Hindu dan keyakinan-keyakinan lainnya untuk sekedar meditasi. Tak satu pun dari keyakinan dan agama itu memuaskan dan mampu mendorong saya untuk melepaskan diri dari kehidupan sebagai gay," keluh Ayub.
Sampai akhirnya Ayub mengenal agama Islam dan mempelajarinya secara mendalam. Pada usia 25 tahun, setelah mengucapkan dua kalimat syahadat, hidup Ayub berubah total. Ketika itu Ayub merasa menemukan kejelasan bahwa apa yang selama ini ia punya nama; Allah, yang telah menciptakan saya dan umat manusia beserta dunia dan seisinya.
"Allah, yang berbicara pada manusia melalui rasulnya Muhammad Saw dan para nabi lainnya, yang telah menyampaikan pesanNya pada umat manusia sejak awal penciptaan dunia," tukas Ayub.
"Jelas sudah buat saya, jika saya ingin mengikuti jalan menuju Allah, saya harus meninggalkan gaya hidup gay saya. Islam menunjukkan pada saya, lewat pengalaman baik internal maupun eksternal bahwa homoseksualitas itu salah dan jika saya tetap melakukannya, akan menghalangi saya untuk mencapai kemajuan spiritualitas," sambung Ayub.
Ayub mengaku tidak bisa menjelaskan dengan kata-kata mengapa ia begitu yakin dengan Islam. Ia juga mengakui melalui tahun-tahun yang berat untuk menghilangkan kebiasaannya sebagai gay, tapi makin jauh mempelajari Islam, Ayub memiliki tekad yang makin kuat untuk melepaskan diri dari kehidupan yang penuh dosa itu.
"Dengan bantuan dari Allah, saya berhasil memutus hubungan dengan masa lalu saya. Saya juga belajar, sedikit demi sedikit bagaimana mengontrol keinginan yang bisa membawa saya ke perbuatan haram," ujar Ayub.
"Sekarang pun saya masih dalam kondisi rawan, terutama saat saya merasa lemah. Tapi saya berpikir tentang kehidupan ini, apapun yang terjadi jika saya bisa bebas dari 'kegilaan' ini dan membantu orang-orang yang bernasib sama dengan saya, saya akan sukses. Inilah jihad saya dalam hidup," tegas Ayub.
Ayub menyatakan tidak peduli ada orang lain yang menolak pendekatan yang dilakukannya. Untuk mereka yang juga sedang berjuang melepaskan diri dari kecenderungan menyukai sesama jenis, Ayub selalu berkata berdasarkan pengalaman hidupnya bahwa "Anda tidak perlu menjalani kehidupan yang bertentangan dengan apa yang telah Allah gariskan untuk kita. Anda tidak perlu menerima definisi siapa Anda jika itu bertentangan dengan apa yang telah Allah tahbiskan buat Anda sebagai seorang Muslim."
Ayub juga mengingatkan orang-orang yang pernah seperti dirinya untuk tidak perlu malu dengan penolakan dari keluarga, teman atau sahabat karena ada cara lain untuk menolong diri kita sendiri. "Ada saudara-saudara kita yang bisa membantu, seperti mereka dulu juga dibantu orang lain," pesan Ayub. (ln/readingislam)

Jamilah Kolocotronis, Menemukan Cahaya Islam Saat Mengejar Cita-Cita Jadi Pendeta

Jumat, 06/03/2009 17:38 WIB | email | print | share
Jamilah Kolocotronis, melalui jalan berliku untuk sampai menjadi seorang Muslim. Uniknya, ia mendapatkan hidayah dari Allah swt mengikrarkan dua kalimat syahadat, justeru saat ia menempuh pendidikan demi mewujudukan cita-citanya menjadi seorang pendeta agama Kristen Lutheran yang dianutnya.
Kisah Jamilah berawal pada tahun 1976. Meski kuliah di sebuah universitas negeri, ia masih memendam keinginan untuk menjadi pendeta. Jamilah lalu mendatangi seorang pastor di sebuah gereja Lutheran dan menyampaikan keinginannya untuk membantu apa saja di gereja. Pastor itu kemudian meminta Jamilah untuk mewakilinya di acara piknik untuk para mahasiswa baru dari negara lain. Dalam acara ini, untuk pertamakalinya Jamilah bertemu dengan seorang Muslim.
Muslim itu bernama Abdul Mun'im dari Thailand. "Ia punya senyum yang manis dan sangat sopan. Saat kami berbincang-bincang, ia seringkali menyebut kata Allah," kata Jamilah.
Jamilah mengaku agak aneh mendengar Mun'im menyebut nama Tuhan, karena sejak kecil ia diajarkan bahwa orang di luar penganut Kristen akan masuk neraka. Saat itu, Jamilah merasa bahwa Mun'im adalah golongan orang yang akan masuk neraka, meski Mun'im percaya pada Tuhan dan berperilaku baik. Jamilah bertekad untuk bisa mengkristenkan Mun'im.
Jamilah pun mengundang Mun'im datang ke gereja. Tapi betapa malu hatinya Jamilah ketika melihat Mun'im datang ke gereja dengan membawa al-Quran. Usai kebaktian, Jamilah dan Mun'im berbincang tentang Islam dan al-Quran. Selama ini, Jamilah hanya mendengar istilah "Muslim" dan memahaminya dengan hal-hal yang negatif. Kala itu, sejak era tahun 1960-an warga kulit putih di AS meyakini bahwa warga Muslim kulit hitam ingin menyingkirkan warga kulit putih.
Selama dua tahun, Jamilah tetap melakukan kontak dengan Mun'im. Lewat aktivitasnya di sebuah Klub International, Jamilah juga bertemu dengan beberapa Muslim lainnya. Jamilah tetap berusaha melakukan kegiatan misionarisnya untuk memurtadkan mereka dan masih punya keinginan kuat untuk menjadi pendeta meski waktu itu, di era tahun '70-an gereja-gereja belum bisa menerima perempuan di sekolah seminari.
Waktu terus berjalan, kebijakan pun berubah. Setelah menyelesaikan studinya di universitas, sebuah seminari Lutheran mau menerimanya sebagai siswa. Jamilah pun langsung mengemasi barang-barangnya dan pergi ke Chicago untuk memulai pelatihan menjadi pendeta.
Tapi, cuma satu semester Jamilah merasakan semangat belajarnya di seminari itu. Jamilah sangat kecewa dengan kenyataan bahwa seminari itu tidak lebih sebagai tempat untuk bersosialisasi dimana pesta-pesta digelar dan minum-minuman keras sudah menjadi hal yang biasa. Jamilah makin kecewa ketika seorang profesor mengatakan bahwa para cendikiawan Kristen mengakui bahwa Alkitan bukan kitab suci yang sempurna, tapi sebagai pendeta mereka tidak boleh mengungkapkan hal itu pada para jamaah gereja. Ketika Jamilah bertanya mengapa, jawabannya tidak memuaskan dan ia diminta menerima saja keyakinan itu.
Jamilah akhirnya memutuskan meninggalkan seminari dan pulang ke rumah. Ia memutuskan untuk lebih meluangkan waktu untuk mencari kebenaran. Di tengah pencariannya itu, Jamilah diterima kerja sebagai sekretaris di daerah pinggiran St. Louis tak jauh dari rumahnya.
Mencari Kesalahan al-Quran
Suatu hari Jamilah masuk ke sebuah toko buku dan menemukan al-Quran di toko buku itu. Jamilah tertarik untuk membelinya karena ia ingin mencari kelemahan dalam al-Quran. Jamilah berpikir, sebagai orang yang bergelar sarjana di bidang filosofi dan agama serta pernah mengenyam pendidikan di seminari, pastilah mudah baginya menemukan kelemahan-kelemahan al-Quran sehingga ia bisa mempengaruhi teman-teman Muslimnya bahwa mereka salah.
"Saya baca al-Quran dan mencari kesalahan serta ketidakkonsistenan dalam al-Quran. Tapi saya sama sekali tak menemukannya. Saya malah terkesan saat membaca Surat Al-An'am ayat 73. Untuk pertama kalinya saya ingin mengetahui lebih banyak tentang Islam," ujar Jamilah.
Jamilah memutuskan untuk kembali ke universitasnya dulu dan mengambil gelar master di bidang filosofi dan agama. Pada saat yang sama, selain mengunjungi kebaktian di gereja, Jamilah juga datang ke masjid pada saat salat Jumat. Saat itu, Jamilah mengaku belum siap menjadi seorang Muslim. Masih banyak ganjalan pertanyaan memenuhi kepalanya.
Namun Jamilah tetap melanjutkan pencariannya tentang agama. Ia banyak mendapat penjelasan dari teman-temannya di universitas yang Muslim tentang berbagai keyakinan dalam Kristen yang selama ini ketahui. Selain mempelajari Islam, Jamilah juga mempelajari agama Budha. "Saya cuma ingin menemukan kebenaran," kata Jamilah.
Mengucap Dua Kalimat Syahadat
Seiring berjalannya waktu, Jamilah merasakan kecenderungannya pada Islam pada musim panas 1980. Satu hal yang masih mengganggu pikirannya ketika itu adalah mengapa orang Islam harus berwudhu sebelum salat. Ia menganggap itu tidak logis karena manusia seharusnya bisa mengakses dirinya pada Tuhan kapan saja. Namun pertanyaan yang mengganggu itu akhirnya terjawab dan Jamilah bisa menerima jawabannya.
Akhirnya, malam itu Jamilah membulatkan tekadnya untuk menerima Islam sebagai agamanya. Ia pergi ke sebuah masjid kecil dekat universitas. Kala itu, malam ke-9 di bulan Ramadhan, Jamilah mengucapkan dua kalimat syahadat disaksikan oleh sejumlah pengunjung masjid.
"Butuh beberapa hari untuk beradaptasi, tapi saya merasakan kedamaian. Saya sudah melakukan pencarian begitu lama dan sekarang saya merasa menemukan tempat yang damai," tukas Jamilah.
Setelah menjadi seorang Muslim, awalnya Jamilah menyembunyikan keislamannya dari teman-teman di kampus bahkan keluarganya. Menceritakan pada keluarganya bahwa ia sudah menjadi seorang Muslim bukan persoalan gampang buat Jamilah. Begitupula ketika ia ingin mengenakan jilbab. Tapi jalan berliku dan berat itu berhasil dilaluinya. Kini, Jamilah sudah berjilbab, ia tidak jadi pendeta tapi sekarang ia menjadi kepala sekolah di Salam School, Milwaukee. Di tengah kesibukannya mengurus enam puteranya, Jamilah mengajar paruh waktu dan menulis novel bertema Muslim Amerika. (ln/readingislam/iol)

Yvonne Ridley: Saya Kagum Dengan Hak-Hak Yang Diberikan Islam pada Kaum Perempuan

Kamis, 12/03/2009 16:31 WIB | email | print | share
Banyak orang yang menilai Islam tidak memberikan penghormatan terhadap kaum perempuan. Tapi tidak bagi Yvonne Ridley setelah ia mengenal Islam. Mantan wartawan asal Inggris yang pernah menjadi tawanan Taliban di Afghanistan ini, masuk Islam setelah ia mendalami al-Quran dengan harapan menemukan perintah-perintah Tuhan dalam Islam yang menempatkan perempuan pada posisi rendah. Apalagi ketika itu Ridley juga seorang aktivis feminisme.
Tapi semakin ia mendalami al-Quran, Ridley tidak menemukan apa yang dicarinya, ia malah menemukan ajaran Islam yang luhur tentang kaum perempuan, dimana Islam menempatkan kaum perempuan dalam derajat yang tinggi dan mulia. Inilah yang kemudian mendorong Yvonne untuk memilih menjadi seorang Muslim dan sekarang dikenal aktif berdakwah kemana-mana.
Bagaimana pengalaman Ridley menjadi seorang mualaf dan apa pandangannya tentang perempuan dalam Islam. Berikut petikan wawancara yang dilakukan situs Islamonline dengan Yvonne Ridley;
Seberapa jauh Anda tahu tentang Islam sebelum menjadi seorang Muslimah?
Saya cuma tahu sedikit tentang Islam sebelum menjadi Muslim. Saya hanya tahu dari media massa.
Bagaimana ceritanya Anda masuk Islam?
Saat saya menjadi tawanan Taliban, seorang ulama mendatangi saya. Dia menanyakan beberapa pertanyaan tentang agama dan menanyakan apakah saya mau pindah agama. Saat itu, saya takut kalau saya salah memberikan respon, maka saya akan dibunuh. Setelah berpikir masak-masak, saya berterima kasih pada ulama tadi atas tawarannya yang baik itu dan saya bilang bahwa sulit bagi saya membuat keputusan untuk mengubah hidup saya saat saya sedang menjadi tawanan. Tapi saya berjanji, jika saya dibebaskan dan kembali ke London, saya akan mempelajari tentang Islam.
Akhirnya saya bebas dan saya mulai membaca terjemahan al-Quran. Saya memilih surat-surat dalam al-Quran hanya yang ingin saya baca saja. Saya sangat kagum dengan hak-hak yang diberikan Islam pada kaum perempuan dan inilah yang paling membuat saya tertarik pada Islam.
Setelah memeluk Islam, apakah Anda membutuhkan bantuan dari komunitas Muslim?
Ya dan tidak. Saya mendapat banyak dukungan dari sesama Muslimah. Saya merasa beruntung jika dibandingkan dengan banyak mualaf lainnya. Banyak mualaf yang benar-benar membutuhkan dukungan semangat dan pendampingan hampir setiap hari. Yang menyedihkan, banyak diantara kami yang diabaikan setelah mengucapkan dua kalimat syahadat. Saya cuma ingin mengatakan, tahun-tahun pertama bagi para mualaf adalah saat-saat yang kritis bagi perkembangan mereka sebagai seorang Muslim, jadi sebaiknya para mualaf baru jangan diabaikan begitu ia usai mengucapkan syahadat.
Tantangan apa yang paling berat setelah Anda memeluk Islam?
Belajar menjadi orang yang lebih baik. Mungkin kedengarannya agak aneh, karena saya tidak merasa sebagai orang yang buruk sebelum memeluk Islam. Tapi setelah menjadi Muslim, saya harus belajar tentang etika Islam, misalnya tentang kesabaran dan toleransi. Buat mereka yang sudah mengenal baik siapa saya, pasti tahu betapa beratnya perjuangan saya ketika itu.
Bagaimana reaksi keluarga dan teman-teman ketika tahu Anda masuk Islam?
Mereka semua syok. Bagaimana bisa seorang gadis yang doyan pesta meninggalkan gaya hidup Baratnya dan memeluk Islam? Tapi setelah beberapa waktu, mereka tahu bahwa saya bersungguh-sungguh! Saya lebih sehat dan bahagia, badan saya jadi agak langsing. Mereka melihat bahwa apapun yang terjadi dalam kehidupan saya, saya menjadi orang yang lebih baik. Mereka membantah bahwa ini semua karena Islam. Teman-teman perempuan saya apakah saya punya pacar sehingga terlihat lebih sehat dan bahagia, saya menjawab "Apakah kamu pikir untuk terlihat lebih baik seperti sekarang saya harus punya pacar? Tidakkah kalian bisa menerima bahwa saya telah menemukan sesuatu yang memberikan saya banyak kebahagiaan, kekuatan dari dalam dan spiritulitas?"
Bagaimana Anda menyesuaikan diri dengan Jilbab yang Anda kenakan di Inggris, sementara banyak orang meributkan jilbab?
Saya senang sekali Anda menanyakan hal ini. Banyak orang berpendapat tentang jilbab, terutama kaum lelaki yang tidak perlu mengenakan jilbab. Mereka tidak tahu, betapa besar tantangan yang dihadapi perempuan berjilbab dan berniqab. Ketika seorang perempuan mengenakan jilbab, mereka memperjuangkan Islam, di baris terdepan. Mereka menjadi sasaran tindakan sewenang-wenang. Sedih rasanya melihat beberapa Muslimah yang diserang secara fisik gara-gara perdebatan jilbab terutama yang dipicu oleh para politisi dengan segala pernyataan-pernyataan buruk mereka tentang jilbab. Jilbab adalah kewajiban. Saya salut dengan para muslimah yang mengenakan jilbab, dengan kekuatan, semangat dan keimanan mereka.
Untuk Muslimah yang tidak mengenakan jilbab, saya ingin bilang pada orang-orang di sekeliling mereka agar bersabar dan berilah mereka waktu. Kita semua dalam perjalanan spiritual, beberapa diantara kita mencapai level tertentu dengan cepat dibandingkan yang lainnya. Butuh waktu. Kita selayaknya tidak terlalu kritis terhadap sesama Muslimah yang belum berjilbab, kita sebaiknya mendukung dan menolong mereka.
Saya juga tidak langsung mengenakan jilbab. Butuh waktu buat saya untuk mengenakannya, dan itu itu menjadi bagian dari pertumbuhan dan perkembangan saya sebagai seorang Muslim. Setiap harus selalu ada perbaikan. Jika pembicaraan ini dilakukan kembali 20 tahun mendatang, saya akan bilang bahwa saya masih belajar dan berkembang terus, Insya Allah.
Jika ada non-Muslim yang ingin tahu tentang Islam, apa pesan penting yang harus disampaikan seorang Muslim pada non-Muslim?
Kita harus menyampaikan pada Barat bahwa kaum perempuan tidak ditindas dalam Islam, kaum perempuan bukan makhluk kelas dua. Betul, ada sebagian perempuan yang berada di bawah kendali laki-laki. Tapi di kalangan non-Muslim di Barat, banyak juga perempuan yang tertindas. Masalah kekerasan dalam rumah tangga adalah isu global bagi perempuan, bukan isu Islam.
Banyak isu yang mempengaruhi kaum perempuan Muslim dan Barat. Tapi akan saya katakan pada kaum perempuan non-Muslim bahwa banyak hal yang substansial dibalik jilbab. Jika mereka mau melihat, mereka akan menyadari bahwa banyak Muslimah berjilbab yang sukses, pintar, berbakat dan dikenal di level internasional. Jadi, daripada buang-buang waktu meributkan jilbab, berhentilah dan bicaralah pada para muslimah. (ln/iol)

Konsep Trinitas Tak Masuk Akal, Kathryn Memilih Islam

Senin, 16/03/2009 17:27 WIB | email | print | share
Kathryn Bouchard dibesarkan dalam lingkungan keluarga Katolik yang moderat. Kedua orangtuanya adalah guru sekolah Katolik. Hubungan antar keluarg mereka terbilang akrab satu sama lain. Kathryn yang asal Kanada menghabiskan masa remajanya di London dan Ontario. Seperti penganut Katolik lainnya, ia pergi ke gereja setiap hari minggu, sekolah di sekolah Katolik hingga ke jenjang universitas. Kathyrn kuliah di Brescia University College, sebuah perguruan tinggi Kristen khusus perempuan yang berafiliasi dengan Universitas Western Ontario.
"Meski saya dibesarkan dalam lingkungan Katolik, orangtua mendorong saya untuk berteman dengan beragam orang dari berbagai latar belakang dan boleh menanyakan apa saja berkaitan dengan kehidupan dan agama," kata Kathryn.
Konsep Trinitas Yang Tak Masuk Akal
Ia mulai mempelajari agama-agama dalam usia yang relatif masih mudah ketika ia berusia 16 atau 17 tahun dan masih duduk di sekolah menengah. Kathryn mengatakan, ia tidak mau menjadi bagian dari sebuah agama hanya karena ia sudah menganut agama itu sejak ia dilahirkan. Itulah sebabnya, Kathryn tidak sungkan mempelajari beragam agama mulai dari Hindu, Budha sampai Yudaisme. Ketika itu, ia hanya sedikt saja mengeksplorasi agama Islam.
Alasan Kathryn mempelajari beragam agama, salah satunya karena banyak hal dalam ajaran Katolik yang tidak dipahami Kathryn. "Kami sering kedatangan pendeta di sekolah dan kami melakukan pengakuan dosa. Saya pernah bertanya pada seorang pendeta,'Saya betul-betul tidak paham dengan konsep Trinitas. Bisakah Anda menjelaskannya?' Tapi pendeta itu menjawab 'Yakini saja'. Mereka tidak memberikan jawabannya," tutur Kathryn.
Ia belum mendapatkan jawaban yang memuaskan tentang konsep Trinitas dalam agama Kristen, hingga ia di bangku kuliah dan mempelajari berbagai ilmu di seminari dan mempelajari teologi agama Katolik.
"Jika saya menanyakan tentang Trinitas, mereka akan menjawab 'ayah dan ibumu saling mencintai, ketika mereka memiliki anak, itu seperti tiga dalam satu dengan identitas berbeda'. Jadi, banyak sekali analogi yang diberikan untuk menjelaskan bagaimana Yesus bisa menjadi Tuhan dan menjadi anak Tuhan dan menjadi dirinya sendiri. Saya pikir banyak penganut Kristen yang menerima konsep ini tanpa memahaminya, " ujar Kathryn.
Ia lalu menanyakan konsep Trinitas ke beberapa temannya dan ia mendapat jawaban bahwa konsep Trinitas ada dan ditetapkan sebagai dasar kepercayaan dalam agama Kristen setelah Yesus wafat. Sebuah jawaban yang mengejutkan Kathryn, karena itu artinya semua dasar dalam ajaran Kristen adalah ciptaan manusia. Yesus semasa hidupnya tidak pernah bilang dirinya adalah anak Tuhan dan tidak pernah mengatakan bahwa dirinya Tuhan.
"Saya membaca Gospel Mathias pertama dan dalam Gospel itu Yesus tidak direferensikan sebagai anak Tuhan, tapi anak seorang manusia. Tapi dalam Gospel yang ditulis setelah Yesus wafat, banyak sekali disebutkan bahwa Yesus adalah anak Tuhan. Dan disebutkan pula bahwa ada alasan politis dibalik argumen konsep Trinitas," papar Kathryn.
Ia melanjutkan,"Saya juga menemukan bahwa Yesus berdoa dan memohon pertolongan pada Tuhan. Jika Yesus minta pertolongan pada Tuhan, lalu bagaimana Yesus bisa menjadi Tuhan. Ini tidak masuk akal buat saya."
Mengenal Islam
Setelah menyelesaikan studinya di Ontario, Kathryn pindah ke Montreal dan di kota ini ia bertemu dengan banyak Muslim dari berbagai latar belakang mulai dari Eropa, Afrika dan Karibia. Keberagaman ini membuka mata Kathryn bahwa pemeluk Islam ternyata berasal dari berbagai latar belakang kebangsaaan. Fakta ini mendorongnya untuk lebih banyak belajar tentang Muslim dan latar belakang mereka.
Kathryn mulai membaca banyak referensi tentang Islam. Tapi ia menemukan bahwa contoh-contoh ekstrim tentang Islam di internet sehingga ia sempat berkomentar "Saya tidak mau menjadi bagian dari agama ini (Islam)." Oleh sang ayah, Kathryn disuruh terus membaca karena menurut sang ayah, dalam banyak hal sering terjadi salah penafsiran.
Kathryn pun melanjutkan pencariannya tentang Islam. Ia bergabung dengan situs "Muslimahs", sebuah situs internasional yang beranggotakan para Muslimah maupun para mualaf dari berbagai negara. Dari situs inilah ia banyak belajar dan bertanya tentang Islam.
Kathryn mengatakan banyak hal yang ingin ia ketahui tentang ajaran Islam. Misalnya, apa saja persamaan dan perbedaan ajaran Islam dan Kristen, bagaimana posisi Yesus dalam Islam, siapa Nabi Muhammad, masalah poligami dan berbagai isu Islam yang muncul pasca serangan 11 September 2001 di AS.
Selama kuliah di Montreal, Kathryn belajar banyak hal tentang Islam. Ketika ia pulang ke London, orangtuanya mengira bahwa Kathryn hanya rindu kembali ke rumah dan bukan untuk memperdalam minatnya pada Islam. Kathryn lalu membeli al-Quran dan buku-buku hadist. Pada ayahnya, ia bilang bahwa al-Quran bukan buatan manusia, ketika membaca al-Quran sepertinya Tuhan sedang bicara pada kita.
"Anda merasa bahwa ada juga kebenaran yang ditulis dalam alkitab, tapi Anda tidak akan merasa bahwa itu semua tidak ditulis langsung oleh Tuhan. Sedangkan al-Quran, Anda akan merasakan kebenaran yang sesungguhnya," ujar Kathryn.
"Saya juga menemukan banyak ilmu pengetahuan yang sudah lebih dulu diungkap oleh al-Quran dan baru muncul kemudian dalam kehidupan manusia. Saya pikir, al-Quran diturunkan pada manusia dengan tingkat emosional dan logis. Islam mendorong umatnya untuk berpikir dan mencari ilmu," sambung Kathryn.
Kathryn pun mulai belajar salat, datang ke ceramah-ceramah agama dan mengontak masjid terdekat untuk mencari informasi apakah masjid itu punya program untuk orang-orang sepertinya dirinya, yang berminat pada agama Islam.
"Pertama kali saya masuk ke masjid, saya menangis. Saya merasakan ada energi yang begitu besar yang tidak saya rasakan ketika saya ke gerejat," kisah Kathryn yang kemudian belajar membaca al-Quran di masjid itu. Ia terus belajar dan bergaul dengan para warga Muslim. Sedikit demi sedikit, Kathryn bisa mengubah gaya hidupnya.
Ditanya apakah orangtuanya keberatan dengan perubahan dirinya. Kathryn mengaku butuh waktu cukup panjang untuk meyakinkan orangtuanya bahwa ia tidak menjauh dari keluarganya jika memeluk Islam.
Mengucap Dua Kalimat Syahadat
Kathryn mengungkapkan bahwa ia sendiri tidak pernah menyangka akhirnya memutuskan masuk Islam dan itu semua terjadi begitu saja. Saat itu, di bulan Juni tahun 2008, seperti biasanya ia datang ke pengajian mingguan di sebuah Islamic Center. Ia sama sekali berniat mengucapkan dua kalimat syahadat hari itu. Tapi ketika ia tiba di gedung Islamic Center, banyak sekali orang-orang yang telah ia kenal hadir.
Hari itu, tema pengajian adalah umrah. Banyak anak-anak muda Muslim yang datang dan menceritakan pengalaman mereka ikut umrah serta bagaimana hidup mereka berubah setelah umrah. Pengajian dibimbing oleh Dr Munir El-Kassem. Saat Dr El-Kassem bertanya apakah ada diantara para hadirin yang ingin mengajukan pertanyaan, Kathryn dengan spontan mengangkat tangan dan berkata,"Bisakah saya mengucapkan syahadat?" Kathryn sempat kaget sendiri dengan pertanyaan itu karena ia merasa tidak merencanakannya. Semua terjadi begitu saja, spontan.
"Seketika ruangan menjadi sunyi dan saya pikir Dr El-Kassem juga terkejut. Saya memang mengenakan kerudung setiap kali datang pengajian sebagai bentuk penghormatan saya pada Islam. Dr El-Kassem lalu meminta saya maju ke depan dan menceritakan di depan hadirin bagaimana saya bisa sampai pada Islam," tutur Kathryn.
Kathryn mengaku gemetar ketika mengucapkan dua kalimat syahadat. "Tapi saya merasa hati saya begitu lapang, penuh dengan cahaya ibarat sebuah pintu hati yang terbuka. Saya mereka sudah mengambil jalan yang benar," ungkap Kathryn.
Itulah hari bersejarah bagi Kathryn, hari dimana ia memulai kehidupan sebagai seorang Muslimah. Tahun pertama menjalankan puasa di bulan Ramadhan, diakui Kathryn sangat berat. Namun ia merasa bahagia setelah menjadi seorang Muslim. Kathryn mengaku hidupnyan lebih teratur, disiplin dan sehat karena ia tidak lagi makan daging babi dan minum minuman beralkohol. Kathryn juga mengatakan bahwa ia kini tahu apa sebenarnya tujuan dan mau kemana arah hidupnya. (ln/iol/readislam)

Ai

sha Robertson, Kehangatan Umat Islam Menuntunnya Menjadi Seorang Muslimah

Sabtu, 11/04/2009 01:49 WIB | email | print | share
Interaksi dengan teman-teman Muslim selama emapat tahun masa kuliahnya telah memberi pengaruh yang besar dalam kehidupan seorang Aisha Robertson. Interaksi itu membawa Aisha yang semula menganut agama Kristen pada jalan Islam, agama yang ia peluk sejak tahun 1991.
"Selama empat tahun, saya bergaul dengan teman-teman Muslim dan Muslimah. Mereka semua sangat baik dan banyak membantu saya menuju jalan kebenaran dengan sabar dan telaten," kata Aisha, nama Islam yang digunakan setelah mengucapkan dua kalimah syahadat.
Ketika itu, Aisha sedang menyelesaikan gelar masternya di bidang sejarah. Aisha yang kini berprofesi sebagai guru dan penulis lepas di Wisconsin, AS sebelumnya sudah menyelesaikan gelar kesarjanaan di bidang pendidikan dari Universitas Wisconsin.
Aisha mulai mempelajari Islam secara formal dua tahun sebelum ia memutuskan pindah agama ke Islam. Suatu malam di bulan Agustus tahun 1991, Aisha mencoba mencari berbagai referensi tentang kekristenan di dalam al-Quran. Saat itu, masih ada hal yang mengganjal hatinya dan mencegahnya memutuskan untuk memeluk Islam. Namun ia meyakini adanya jalan "kebenaran" dan jalan langsung untuk berdialog dengan Tuhan.
"Selama ini saya tidak pernah secara penuh menerima konsep-konsep dalam agama Kristen, yang mengatakan bahwa Kristen adalah jalan satu-satunya menuju Tuhan. Saya pernah menanyakan konsep Trinitas pada seorang pendeta, tapi ia tidak bisa menjawabnya yang membuat saya makin ragu dengan ajaran Kristen. Pendeta itu hanya menasehati saya untuk menerima saja konsep Trinitas itu sebagai sebuah keimanan," tutur Aisha.
Ia melanjutkan,"Dengan kata lain, ajaran Kristen tidak perlu masuk akal. Saya diminta mengimani saja konsep itu apa adanya, jika tidak berarti saya bukan seorang penganut Kristen yang baik. Hal ini sangat mengganggu saya. Saya berpikir, untuk apa Tuhan memberikan manusia akal dan pikiran jika kita tidak menggunakannya ketika kita menyangkut masalah penyembahan padaNya."
Itulah awal Aisha tergerak untuk mempelajari agama lain. Ketika berkunjung ke Jepang, Aisha sempat belajar agama Budha. Tapi ia merasa tidak nyaman karena harus menundukkan diri pada patung Budha. Ia pun kembali berusaha untuk menerapkan ajaran Kristen yang ia anut. Ketika itu, Aisha belum tahu sama sekali tentang Islam. Yang ia pahami, Islam hanyalah budaya dan tradisi orang-orang Arab. "Sebuah pemikiran yang sulit dipercaya. Sebagai seorang mahasiswi yang mempelajari sejarah, bagaimana bisa saya memiliki pandangan yang salah tentang Islam. Ini sekaligus menjadi bukti bahwa buku-buku teks sejarah yang ditulis Barat sudah dengan tidak adil bersikap bias terhadap Islam." papar Aisha.
Akhirnya, malam itu, pencarian dan semua tanya Aisha terjawab. "Alhamdulillah. Saya membaca surat Al-Maidah ayat 82 sampai 85 dan malam itu saya makin yakin bahwa jauh di dalam lubuk hati saya, saya benar-benar ingin menjadi seorang Muslim," ujar Aisha.
Ia mengungkapkan, salah satu aspek yang sangat mempengaruhi keinganannya masuk Islam adalah karena ia melihat bukan hanya Muslim yang begitu semangat dan dengan bangga menjalankan ajaran Islam, tapi juga Muslim yang begitu toleran dengannya yang ketika itu masih seorang non-Muslim.
"Saya menemui banyak sekali Muslim yang seperti itu di Universitas. Saya melihat seorang Muslimah asal Malaysia, dengan anggun mengenakan jilbab dan baju Muslimnya yang panjang dan tanpa canggung berjalan ke kursinya di kelas. Saya bertemu dengan seorang Muslim yang sering datang ke toko buku tempat saya bekerja. Penampilannya selalu terlihat rapi dan bersih," ungkap Aisha.
Setelah memeluk Islam, barulah ia mengerti mengapa Muslim yang dijumpainya selalu terlihat segar dan bersih. Karena seorang Muslim berwudhu lima kali dalam sehari.
Suatu kali dalam perjalanan dengan pesawat terbang, pesawat yang ditumpangi Aisha mengalami turbulensi. Laki-laki yang duduk di sebelah Aisha, yang ternyata seorang pilot, dengan ramah dan sopan mencoba menenangkan Aisha yang gelisah dan ketakutan bahwa semuanya akan baik-baik saja sambil menjelaskan pada Aisha bagaimana pesawat bekerja dalam menghadapi kondisi semacam itu. Belakangan Aisha tahu, bahwa pilot yang dijumpainya itu adalah seorang Muslim.
"Akhirnya saya tahu bahwa mereka adalah Muslim dari berbagai penjuru dunia. Saya kagum dengan cara mereka membawa diri dan menyaksikan betapa mereka bangga menjadi seorang Muslim. Mereka juga sangat toleran dan baik pada saya yang non-Muslim," ujar Aisha.
Setahun sebelum Aisha bertekad masuk Islam, Aisha melihat pengumuman dialog Kristen dan Islam di majalah dinding gereja yang sering ia kunjungi. Di buletin itu Aisha membaca sedikit informasi tentang Islam. Yang membuat ia kagum, dalam buletin itu disebutkan bahwa saat itu ada sekitar satu milyar Muslim di seluruh dunia.
"Jumlah orang Arab saja tidak sampai satu milyar. Itu artinya Islam adalah agama untuk semua orang. Jika begitu banyak orang yang menganut Islam, pastilah ada kebenaran dalam agama itu," pikir Aisha.
Aisha tidak menghadiri dialog tersebut, tapi ia pergi ke perpustakaan untuk mencari arti al-Quran dalam bahasa Inggris. Tiga hari Aisha membaca terjemahan al-Quran dan ia mengakui bahwa Islam ada cara hidup dan berdasarkan pada keseimbangan antara keadilan dan pengampunan. Sejak itu Aisha bertekad untuk mencari tahu lebih banyak tentang Islam.
Beruntung, di universitasnya ada cabang organisasi Muslim Student Association. Dari sanalah Aisha banyak mendapatkan buklet-buklet berisi informasi tentang Islam dan berkenalan dengan para mahasiswa dan mahasiswi Muslim. "Saya banyak bertanya pada mereka tentang Islam, tapi tak satupun dari mereka yang mendorong-dorong saya untuk pindah agama. Saya mengagumi kesabaran mereka menjawab semua rasa keingintahuan saya tentang Islam," ungkap Aisha.
Setelah menjadi seorang Muslim, Aisha mengaku sangat bersyukur atas hidayah yang telah diberikan Allah swt padanya. "Saat itu saya seperti melangkah di atas angin. Saya ingin sekali belajar salat dan mengenakan jilbab, meski saya tahu orang akan menatap aneh pada saya dan memberikan komentar yang tidak mengenakkan," tutur Aisha.
Seperti mualaf pada umumnya, Aisha melalui masa-masa sulit untuk menjelaskan pada keluarga bahwa ia sudah menjadi seorang Muslim. Hampir semua teman non-Muslim Aisha menolaknya, tapi Allah swt memberi ganti teman-teman yang lebih baik buat Aisha.
"Saya pikir, cara terbaik untuk mengungkapkan rasa terima kasih saya pada Allah swt atas hadiah keimanan yang sangat berharga ini adalah dengan mengatakan bahwa hari-hari terburuk dan tersulit saya sebagai seorang Muslim jauh lebih indah dibandingkan hari-hari terbaik saya saat masih menjadi non-Muslim," tandas Aisha. (ln/readislam/iol)

Terry Holdbrooks: Masuk Islam Saat Bertugas di Kamp Guantanamo

Jumat, 17/04/2009 17:54 WIB | email | print | share
Prajurit AS Terry Holdbrooks baru enam bulan bertugas di kamp penjara Guantanamo, Kuba. Seperti penjaga lainnya, tugasnya adalah menjaga dan mengawasi para tahanan, mendampingi tawanan yang sedang diinterogasi, berkeliling sel dan memeriksa tahanan agar tidak saling bertukar pesan dengan tahanan lainnya. Tapi malam itu, di awal tahun 2004, Holdbrooks yang sedang dapat shift jaga malam, merasakan malam berjalan begitu lambat dan membosankan. Tapi siapa yang mengira, malam itu menjadi malam bersejarah baginya karena membawanya pada agama Islam.
Untuk membunuh rasa bosan setelah berkeliling memeriksa seluruh sel, Holdbrooks berbincang-bincang dengan seorang tahanan berkebangsaan Maroko yang dikenal dengan julukan "Jenderal". Meski baru enam bulan bertugas di kamp Guantanamo, persahabatan antara Holdbrooks dan sang "Jenderal" yang nama aslinya Ahmed Errachidi, cukup dekat.
Saat itu hampir tengah malam, perbincangannya dengan Errachidi membuat Holdbrooks merasa makin skeptis tentang kamp penjara Guantanamo dan ia mulai memikirkan masa depan hidupnya. Holdbrooks lalu memesan buku-buku tentang Arab dan Islam.
Masih di awal tahun 2004, suatu malam, Holdbrook kembali berbincang-bincang dengan "Jenderal" kali ini tentang kalimat syahadat dalam Islam, sebagai pernyataan seseorang bahwa dirinya seorang Muslim. Malam itu, Holdbrooks memberikan pena dan selembar kartu index lewat celah jeruji penjara dan meminta sang "Jenderal" untuk menuliskan kalimat syahadat dalam bahasa Arab dan artinya dalam bahasa Inggris. Holdbrooks kemudian membaca kalimat syahadat dengan sudara keras, saat itulah, di lorong sel kamp Delta di Guantanamo, Holdbrooks menjadi seorang Muslim.
Cuma setahun, Holdbrooks bertugas di kemiliteran AS, tahun 2005 ia meninggalkan dinas militer. Dalam beberapa wawancara dengan Newsweek, ia dan beberapa mantan pejaga penjara kamp Guantanamo mengakui tindakan sadis dan penyiksaan terhadap para tahanan di kamp tersebut. Namun ia juga mengungkapkan adanya interaksi yang baik antara sejumlah penjaga dengan para tahanan. Mereka sering berbincang tentang politik, agama bahkan musik. Hal itu diakui Errachidi yang mendekam di kamp Guantanamo selama lima tahun dan dibebaskan tahun 2007.
"Para tahanan biasanya ngobrol dengan para penjaga yang menunjukkan sikap hormat pada para tahanan. Kami bicara soal apa saja, hal-hal yang biasa dan hal-hal yang sama-sama menarik perhatian kami," kata Errachidi dalam email yang dikirimnya dari Maroko ke majalah Newsweek, menguatkan keterangan Holdbrooks.
Terry Holdbrooks adalah produk keluarga yang berantakan. Ia tumbuh dewas di Phoenix, kedua orangtuanya adalah pecandu narkoba dan Holdbrooks sendiri seorang pecandu minuman keras sebelum bergabung dengan militer AS pada tahun 2002. Menurut TJ-panggilang akrab Holdbrooks-ia memutuskan masuk kemiliteran karena tidak ingin hidupnya berakhir seperti orangtuanya.
Holdbrooks adalah tipe anak muda yang hanya menuruti kata hati dan sedang mencari kestabilan dalam jiwanya. Seumur hidupnya, ia jarang bersentuhan dengan masalah keagamaan. Tak disangka, di kamp Gitmo ia justeru berteman dengan seorang tahanan yang taat dengan ajaran agamanya. "Banyak orang Amerika yang tidak peduli lagi dengan Tuhan, tapi di tempat seperti ini (kamp Gitmo) para tahanan dengan taat menunaikan salat," kata TJ.
Ketika Holdbrooks mengungkapkan keinginannya memeluk agama Islam, "Jenderal" Errachidi mengingatkannya bahwa menjadi seorang muslim adalah sebuah keputusan yang sangat serius, apalagi di kamp Guantanamo. "Errachidi ingin memastikan bahwa saya paham betul apa yang sedang saya bicarakan," kenang Holdbrooks. Namun ia tetap memutuskan menjadi seorang Muslim dan ia hanya memberitahu kemuslimannya pada dua rekan sekamarnya.
Para tentara lainnya mulai mencium adanya perubahan pada Holdbrooks karena mereka mendengar para tahanan memanggil Holdbrook dengan nama "Mustapha" dan melihat Holdbrooks dengan terang-terangan belajar bahasa Arab. Hingga suatu malam, kepala regunya memanggil ke sebuah lapangan dimana sudah ada lima penjaga lainnya. "Mereka mulai berteriak pada saya dan menanyakan apakah saya seorang pengkhianat, apakah saya beralih," tutur Holdbrooks. Dan malam itu, kepala regunya meninjunya, begitu juga dua penjaga lainnya.
Holdbrooks kemudian dikucilkan dan ia dipindahkan ke Ford Leonard Wood. Tapi beberapa bulan kemudian ia menerima surat pemberhentian secara hormat dari kemiliteran, dua tahun sebelum kontraknya dengan kemiliteran berakhir. Pihak militer AS tidak memberikan alasan ataupun penjelasan atau "pemecatan"nya itu.
TJ kembali ke Phoenix dan kembali ke kebiasaan lamanya, minum-minuman keras. Ia juga menceraikan istrinya. Kebiasaan minum alkohol akhirnya membawa Holdbrooks ke rumah sakit. Tak terduga, Holdbrooks kembali bertemu dengan Errachidi yang ternyata juga mengalami persoalan menyesuaikan diri setelah dibebaskan dari kamp Guantanamo. Dua sahabat ini saling berkirim email dan menyambung kembali persahabatan yang terputus.
Tiga bulan yang lalu, Holdbrooks yang kini berusia 25 tahun, berhasil menghentikan kebiasaan minumnya. Ia juga mendapatkan pekerjaan sebagai konsultan pendaftaran di Universitas Phoenix. Di dekat universitas ada sebuah masjid sekaligus pusat kegiatan Islam, Tempe Islamic Center. Holdbrooks rajin datang ke masjid itu untuk menunaikan salat berjamaah.
Ketika imam masjid Tempe Islamic Center, Amr Elsamny yang asal Mesir mengenalkan Holdbrooks pada seluruh jamaah dan menjelaskan bahwa Holdbrooks masuk Islam saat bertugas di kamp Guantanamo, para jamaah berebutan menyalami Holdbrooks.
Holdbrooks kini menjalankan ajaran Islam dengan taat. Bekas luka panjang di dahinya, hampir tak kelihatan karena tertutup kopyah yang selalu dikenakannya. "Saya selalu berpikir bahwa kamp penjara Guantanamo dijaga oleh tentara-tentara yang bengis dan kejam. Saya tidak berpikir bahwa ada tentara seperti TJ, yang justeru mendapat hidayah Islam di sana," komentar Imam Amr Elsamny, tentang Holdbrooks. (ln/iol/NW)

Mustafa Garment: Islam Melepaskannya Dari Jerat Narkoba

Kamis, 30/04/2009 11:30 WIB | email | print | share
Melihat penampilannya sekarang, dengan tutur kata yang lembut dan jenggot yang lebat dan posisinya sebagai kordinator forensik di Brooklyn Mental Health Court, AS orang mungkin tak percaya kalau Mustafa Garments menghabiskan hampir setengah perjalanan hidupnya di dunia kriminal dan narkoba. Tapi Islam telah mengubah jalan dan cara hidupnya sehingga Garment mampu meninggalkan dunia hitamnya dan hidup tenang dengan tuntutan Islam.
Garment, warga AS keturunan Afrika yang kini berusia 64 tahun mengungkapkan perjalanan hidupnya 20 tahun silam hingga ia mengenal Islam. Sejak kecil, Garment yang tumbuh di kawasan miskin Harlem sudah akrab dengan kemiskinan, penderitaan hidup, narkoba dan alkohol. Ia hidup sebagai tuna wisma.
"Saya masih ingat bagaimana ketika saya merasa sangat lapar, tubuh saya lemah karena kelaparan," kata Garment yang sejak usia muda sudah harus berjuang melawan kecanduan narkoba dan minuman keras.
Garment mulai mengenal narkoba dan alkohol sejak usia 13 tahun, hingga kedua benda-benda haram itu menjadi bagian dari gaya hidupnya sampai 30 tahun kemudian. Menurut Garment, ia terbiasa mengisap mariyuana dan minum wine agar bisa diterima di tengah teman sepergaulannya. Kondisinya makin parah karena ibu Garment bekerja di bar yang akrab dengan minum-minuman keras.
"Saya sering menemui ibu saya di bar," kata Garment.
Kecanduan Garment terhadap narkoba mencapai puncaknya saat ia mulai mengggunakan kokain yang membuat Garment malas belajar dan akhirnya memilih berhenti sekolah saat ia masih di kelas 10. Kokain membuat perilaku Garment menjadi bertambah buruk, ia mulai berani mencuri bahkan mulai ikut berjualan narkoba untuk memenuhi kebutuhannya saat kecanduannya pada kokain kambuh.
"Ketika Anda kecanduan kokain, hal pertama yang ada di pikiran Anda adalah bagaimana mendapatkan barang itu lebih banyak lagi," ujar Garment.
Tak heran jika Garment pernah lebih dari 30 kali keluar masuk penjara dan merasakan pahitnya kehidupan penjara, karena kasus-kasus kriminal yang dilakukannya mulai dari menjual narkoba sampai perampokan.
Titik Balik
Di tengah kehidupannya yang kacau akibat karena kecanduan narkoba dan bolak balik masuk penjara, Garment yang dibesarkan di tengah keluarga Kristen Baptis, mengenal agama Islam. Ketika itu tahun 1972, pada usia 27 tahun ia kemudian menikah dengan seorang muslimah.
Setelah mulai mengenal Islam dan menikah, Garment ternyata belum juga meninggalkan gaya hidupnya yang kriminal. Garment mengakui, ketika itu, ia tidak sepenuh hati masuk Islam dan tidak berpikir untuk mengubah gaya hidupnya.
"Pola pikir saya saat itu masih sama. Saya sama sekali tidak berubah," aku Garment. Akibatnya, isteri Garment minta cerai karena Garment tetap akrab dengan dunia narkoba dan penjara.
Garment mulai berpikir untuk berubah pada tahun 1998. Setelah 40 tahun hidup di jalan, bertahan hidup dari makanan pembagian, mencuri, menggunakan narkoba, Garment memutuskan untuk memulai kehidupan yang baru.
Hal pertama yang ia lakukan adalah mendatangi tempat-tempat rehabilitasi pecandu narkotika. Ia datang ke pertemuan-pertemuan lembaga Narcotics Anonymous dan mendapatkan bantuan dari organisasi The Bridge, sebuah organisasi yang membantu para tuna wisma dan orang-orang yang kecanduan narkoba.
Di tempat itu, Garment bertemu dengan seorang mentor beragama Islam bernama Amin. Amin-lah yang membantu Garment menjadi seorang Muslim sejati sambil menjalani proses rehabilitasi dari kecanduan narkoba. Amin sendiri, dulunya juga seorang pecandu heroin dan pengidap penyakit AIDS. Pada Garment, Amin mengenalkan apa yang disebut Millati Islami, sebuah program penyembuhan bagi pecandu narkoba berdasarkan prinsip-prinsip Islami.
"Dalam program itu, kami berdiskusi tentang bagaimana mendekatkan diri pada Allah swt, membahas tentang salat," kata Garment mengenang masa lalunya.
Sedikit demi sedikit, Garment mulai menapaki kehidupan barunya yang bebas dari narkoba. Hal itu diakui oleh Lucille Jackson yang mengelola The Birdge. Menurut Jackson, Garment telah menemukan kembali Islam yang dulu pernah dikenalnya dan itulah titik balik kehidupan Garment.
"Ia memanfaatkan progam ini dengan cara yang positif dan menerapkan ilmu yang didapatnya dengan baik," kata Jackson.'
Membantu Orang Lain
Terkesan dengan kemajuan Garment, Jackson memberikan pekerjaan pada Garment di The Bridge sejak Garment masih dalam proses pemulihan. Garment kemudian bekerja di Mental Health Court, sebuah tempat rehabilitasi bagi para tahanan, penderita penyakit jiwa dan pecandu narkoba, yang berad di bawah tanggung jawab Mahkamah Agung Negara wilayah New York.
Garment bekerja dengan baik di pusat rehabilitasi itu. Ketika Jackson diangkat menjadi Direktur Proyek di Brooklyn Mental Health Court, Jackson meminta Garment untuk menjadi kordinator forensik di tempat itu. Karena memiliki catatan kriminal, Jackson harus meminta ijin khusus dari Mahkamah Agung untuk mempekerjakan Garment dan ia berhasil mendapatkan ijin itu.
Pekerjaan Garment adalah membantu para tahanan yang membutuhkan pengobatan atas gangguan mental yang merka derita, atau problem kecanduan narkoba yang mereka hadapi. Tak jarang ia juga harus menangani problem yang dihadapi para tuna wisma dan para pengangguran. Garment melayani mereka, terutama yang usia masih remaja dengan pendekatan orang tua yang sedang mendidik anaknya.
"Saya melihat kehidupan mereka banyak yang hilang. Saya menganggap mereka sebagai anak-anak saya sendiri. Saya bilang pada mereka untuk sekolah dan jangan melakukan tindakan yang merusak diri mereka sendiri," tukas Garment.
Atasan Garment, Jackson puas dengan kinerja Garment di pusat rehabilitasi itu. "Dia adalah sosok manusia yang luar biasa. Dia tidak pernah membiarkan ada yang menghalangi jalannya untuk membantu para klien," puji Jackson.
Sekarang, Garment hidup bahagia bersama keluarganya, menjadi seorang ayah dan seorang kakek. Garment bersyukur karena telah menemukan kembali Islam di saat-saat paling berat dalam hidupnya.
Selain bekerja, Garment juga berhasil menyelesaikan pendidikannya lewat program General Educational Development (GED). Ia bahkan belajar bahasa Arab dan sekarang bisa memahami isi al-Quran. Keinginannya yang lain adalah, suatu saat nanti ia ingin meraih gelar kesarjanaan di bidang studi Islam.
"Saya sekarang seorang Muslim. Kondisi saya sepenuhnya ada di tangan saya dan karena takdir Allah swt," tandas Garment. (ln/iol)

Jacquelyn Harper, Bersyahadat Ketika Islam Dihujat

Selasa, 05/05/2009 17:34 WIB | email | print | share
Serangan 11 September 2001 menjadi awal "perang" Barat terhadap Islam dan Muslim. Sejak itulah Barat menunjukkan wajah aslinya yang ternyata telah salah memandang Islam. Berbagai tudingan dan tuduhan buruk diarahkan ke Islam. Tapi situasi itu membuat seorang perempuan AS justeru penasaran dengan agama Islam.
Jacquelyn Harper, seorang Kristiani konservatif jamaah Gereja Lutheran memenuhi rasa ingin tahunya tentang Islam dengan membaca buku-buku tentang Islam.
"Anda mendengar banyak hal-hal yang buruk tentang Islam dan itu menjadi alasan bagi saya untuk mempelajari Islam," kata Harper.
Menurut Harper, ketika ia membaca buku-buku Islam, ia tak menemukan satupun stereotipe yang ditujukan terhadap agama Islam itu benar. Contohnya masalah perlakuan terhadap perempuan, Harper tak menemukan satupun ajaran Islam yang menindas perempuan seperti yang ia dengar selama ini.
"Setelah membaca buku-buku Islam, saya mulai merasakan agama Islam adalah agama yang masuk akal buat saya. Saya sempat syok dan berkata, 'inilah yang saya rasakan, inilah yang saya yakini'," ujar Harper.
Pembelajaran panjang itu membuat Harper, 25, terkesan pada agama Islam. Ia akhirnya memutuskan memeluk agama Islam pada bulan Januari lalu. Setelah mengucapkan dua kalimat syahadat, Harper mengakui Islam telah memberikan pengaruh yang positif pada hidupnya.
Untuk memperdalam ilmu agama Islamnya, Harper baru saja menyelesaikan kursus agama bagi para mualaf dan nin Muslim selama delapan bulan di North Austin Muslim Community Center. Dari kursus itu, Harper belajar tentang dasar-dasar budaya dan sejarah Islam, etika berpakaian dalam Islam, pernikahan sampai masalah puasa.
Setelah mengikuti kursus itu, Harper kini sedang mempersiapkan diri untuk mulai mengenakan jilbab. "Ketika Anda melakukan sesuatu yang baik, Anda akan merasakan bahwa Anda telah melakukan hal yang benar dan hati Anda merasakan menjadi manusia yang lebih baik," tukas Harper. (ln/iol)

Sabtu, 03 Juli 2010

Kristiane Backer, dari Glamour MTV Menuju Jalan Hidayah

Juli 2, 2010
oleh cahyaiman
Rate This
Quantcast

REPUBLIKA.CO.ID/CAHYAIMAN.BLOG, HAMBURG–”Saya menemukan kenyataan bahwa Islam berpihak kepada perempuan dan laki-laki. Di dalam Islam, perempuan telah memiliki hak untuk memilih pada tahun 600 Masehi. Perempuan dan laki-laki di dalam Islam berpakaian dengan cara yang sopan. Mereka pun tidak diperkenankan saling menggoda. Bahkan, kaum perempuannya diperintahkan untuk memanjangkan pakaian mereka.” Demikian ungkapan hati yang dituliskan Kristiane Backer dalam buku autobiografinya yang berjudul ‘From MTV to Mecca’ atau ‘Dari MTV Menuju Makkah’.
Kristiane Backer lahir dan tumbuh dewasa di tengah keluarga Protestan di Hamburg, Jerman. Pada usia 21 tahun, ia bergabung dengan Radio Hamburg sebagai wartawati radio. Dua tahun kemudian, ia terpilih sebagai presenter MTV Eropa di antara ribuan pelamar. Sebagai konsekuensi pekerjaannya, ia pun pindah ke London, Inggris.
“Begitu luar biasa. Pada usia 20-an, aku tinggal di Notting Hill. Sebagai gadis muda di kota yang sama sekali baru, aku diundang ke mana-mana, difoto banyak papparazi, dan bekerja sebagai presenter. Saat itu aku bertemu dengan banyak orang-orang terkenal. Aku merasakan kehidupan yang sangat menyenangkan. Rasa-rasanya hampir semua gaji yang aku terima habis untuk membeli baju dan pernak-pernik yang bagus dan trendy. Aku pun sering melakukan perjalanan ke berbagai tempat menarik di Eropa,” begitulah Kristiane menceritakan awal kehidupannya sebagai selebritis muda.
Sekali waktu, Kristiane pergi ke Boston mewawancarai Rolling Stone dan mengikuti tur-tur besar para artis terkenal dunia. Kristiane bahkan dinobatkan sebagai presenter perempuan nomor satu di MTV sehingga selalu muncul di layar kaca. Ia juga pernah didaulat menjadi presenter untuk acara Coca-Cola Report dan Europe Top 20.
Boleh dibilang, jika ada kelompok musik baru, maka Kristiane-lah orang pertama yang mewawancarai mereka. Jutaan orang di Eropa pun mengenal gaya Kristiane dengan saksama dan banyak acara besar dengan penonton sebanyak 70 ribu orang sering ia bawakan. Bagi khalayak pemirsa Eropa, Kristiane adalah salah satu sosok penyiar favorit karena kecakapannya.
Di tengah kehidupan glamornya, ia mengalami keguncangan spiritual. Kemudian di tahun 1992, Kristiane bertemu dengan Imran Khan, yang kelak menjadi suaminya. Imran Khan adalah anggota tim kriket Pakistan. Pertemuan itu adalah pertemuan pertama kali antara Kristiane dengan seorang bintang yang beragama Islam. Kristiane dan Khan yang sama-sama mendalami Islam, selalu berdiskusi tentang Islam. Khan selalu memberikan buku-buku tentang Islam kepada Kristiane dan dengan penuh semangat pula Kristiane mengkajinya.
“Aku menemukan bahwa Alquran sarat dengan hal-hal rasional. Dan pandangan lamaku tentang Islam berubah. Karena apa yang kupelajari berbeda dengan anggapan orang-orang di sekitarku. Bahkan ketika aku mengkaji masalah perempuan dalam Islam, aku menemukan bahwa Islam menjunjung tinggi hak-hak wanita yang sekarang tengah diperjuangkan di seluruh dunia. Akan tetapi Islam telah menjunjung tinggi hak-hak wanita sejak ratusan tahun yang lalu. Perempuan dan laki-laki berpakaian dan bertingkah dengan cara yang sopan,” jelas Kristiane.
Kristiane menceritakan bahwa sejak mengenal Islam dan membaca terjemahan Alquran, ia tak lagi menggunakan rok pendek dan pakaian yang buka-bukaan. Ia mulai mengenakan pakaian longgar dan panjang jika tampil di televisi. Ia dengan tegas mengatakan bahwa wanita yang memperlihatkan tubuhnya di depan publik adalah melecehkan seluruh wanita di muka bumi ini.
Akhirnya, ia menerima Islam dengan lapang dada dan sukacita. Setelah mengucap syahadat, perlahan ia mempelajari shalat lima waktu dan berpuasa Ramadhan. “Dulu aku sering sekali minum champagne di pesta-pesta malam, kini saya tidak lagi menyentuh minuman seperti itu,” kisahnya.
Namun, keputusannya untuk menjadi seorang Muslimah juga menuai berbagai macam cobaan. Kristiane tidak lagi diizinkan untuk tampil di layar kaca menjadi pembawa acara. Tak hanya itu, kawan-kawan dan kerabatnya pun mengucilkannya. Untunglah, kedua orang tua Backer tak mempermasalahkan jalan hidup yang dipilih anaknya itu. Mereka malah mendukungnya.
“Beberapa waktu setelah saya memutuskan untuk menjadi Muslimah, saya merasa keterasingan yang sangat. Saya dikucilkan oleh kawan-kawan dan kerabat saya. Tetapi Alhamdulillah, kedua orang tua saya mendukung langkah dan pilihan hidup saya untuk berislam,” tutur dia. Keislaman Kristiane itu juga yang membawa berkah bagi kehidupan keluarganya. Kedua orang tuanya merasa bahagia melihat sosok Kristiane yang baru, yang telah menjadi umat Muhammad.
Kristiane juga menceritakan, suasana keluarganya kian hangat oleh diskusi-diskusi seputar keislaman. ”Keluarga saya sangat banyak mengambil hal-hal positif dari ajaran agama yang saya anut sekarang ini,” tutur Kristiane sebagaimana dilansir harian Alarabiya.
from → CAHAYA MUSLIMAH, FENOMENA DUNIA FANAH, HIDAYAH

Jumat, 02 Juli 2010

kisah dikriminasi negara As yang menggembor2 kan DEMOKRASI

Di Balik Barak Militer AS, Tentera Muslim itu Dipanggil ''Monyet'' dan ''Teroris''


Zachari Klawonn, lahir dari perkawinan campuran, ayah asal Kansas, AS dan ibu asal Maroko. Ia dibesarkan sebagai seorang muslim dan fasih berbahasa Arab. Klawon adalah sedikit dari tentara AS yang beragama Islam. Karena prestasinya di kemiliteran, ia dicalonkan untuk mengikuti seleksi menjadi anggota pasukan elit angkatan udara AS.
Rekan-rekan Klawon di kemiliteran mengenalnya sebagai tentara yang baik dan disiplin. "Dia adalah prajurit terbaik di batalion kami. Tiap kali ada yang mengatakan apa yang bisa ia lakukan, dia akan melakukannya," kata dua kolega Klawon, Spc. Arnold Mendez dan Spc. Daniel Arndt.
Klawonn yang masih berusia 20 tahun, juga sering mendapat pujian dari para komandannya. Tapi menjadi seorang tentara AS yang beragama Islam, memberikan pengalaman berharga baginya. Ia merasakan sakitnya "luka" antara menjalankan tugasnya sebagai tentara dan statusnya sebagai muslim dalam kemiliteran AS.
"Ada orang-orang di kemiliteran yang tidak memberikan apapun kecuali memberikan perlakukan yang tidak pantas," kata Klawonn.
Sejak mendaftarkan diri ke kemiliteran, ia sudah mengalami berbagai pola pelecehan karena kemuslimannya. Mulai dari cara orang memanggil namanya, sampai mendapatkan ancaman dari teman seangkatan atau para opsir tentara lainnya. Kadang perlakuan buruk yang diterimanya, membuat Klawonn bertanya-tanya dalam hati apakah ia bisa bertahan di kemiliteran.
Klawon lahir di Maroko dan dibesarkan di Bradenton. Florida. Semasa di sekolah menengah, ia bergabung dengan tim golf dan bercita-cita menjadi pemain golf profesional. Tapi cita-citanya kandas, ketika pada usia 15 tahun, Klawon kehilangan ayahnya-seorang pensiunan angkatan udara AS-yang meninggal karena kanker.
Semasa hidup, ayahnya sering menceritakan pengalamannya saat masih bertugas di angkatan udara AS. Cerita-cerita itulah yang membuat Klawonn akhirnya berniat untuk menjadi tentara AS.
July 2008, Klawonn mendaftarkan diri ke kemiliteran AS meski ibunya tidak setuju. Begitu ia mengikuti latihan dasar kemiliteran, perlakuan diskriminasi karena latar belakang agamanya, mulai ia rasakan. Pernah dalam sebuah latihan perang, dari seluruh tentara yang ada, seorang komandan menunjuknya untuk berperan sebagai 'teroris' dalam latihan itu.
Klawon dan beberapa tentara lainnya kaget mendengar perintah komandan itu. "Sehelai kain dililitkan ke kepala Klawonn, membentuk seperti sorban. Kami diperintahkan untuk menangkapnya dan menembaknya ... saya harus menembak teman sendiri dalam latihan perang dan saya benar-benar tidak nyaman dengan situasi itu," ungkap teman seangkatan Klawonn, Pfc. Chad Jachimowicz.
Di lain kesempatan, kata Jachimowicz, ia sedang berjalan dengan Klawonn menuju ruang cuci pakaian dan melewati sebuah barak. Mereka lalu melihat lembaran kertas berserakan di lantai dan ternyata lembaran-lembaran kertas itu adalah lembaran ktab suci Al-Quran. Seseorang telah mencuri Al-Quran Klawon dan merusaknya.
Beberapa teman seangkatan Klawonn juga sering memanggilnya dengan nama yang buruk, seperti "monyet" atau "Zachari bin Laden". "Sebutan-sebutan itu sangat menyakitkan. Tapi yang paling berat adalah ketika mereka memanggil saya dengan sebutan 'teroris'. Mental saya langsung jatuh tiap kali mendengar sebutan itu," tukas Klawonn.
Klawonn tidak berdiam diri dengan berbagai perlakuan buruk yang diterimanya. Ia pernah mencoba melaporkan apa yang dialaminya pada atasannya, tapi malah dirinya yang dipindahkan ke basis militer lain.
Ketika ditanya tentang kasus Klawoon, pihak militer AS hanya mengatakan bahwa jajaran pimpinan tidak bisa memberikan komentar karena masih melakukan investigasi.
Pengalaman di Fort Hood
Klawonn pernah ditugaskan di basis militer Fort Hood pada bulan Desember 2008. Dan di tempat ini pun ia mengalami hal yang sama. Seseorang menyelipkan selembar kertas di sela-sela wiper truk tentara yang digunakannya dan selembar kertas itu bertuliskan "Hei, kusir unta, kembalilah ke tempatmu berasal."
Setahun setelah Klawonn ditempatkan di Fort Hood, terjadilah insiden penembakan yang dilakukan Mayor Nidal Hasan--tentara AS yang juga muslim--tepatnya pada tanggal 5 November 2009. Insiden itu menyebabkan 13 orang tewas dan belasan lainnya luka-luka.
Klawonn secara pribadi tidak kenal dengan Nidal Hasan, tapi setelah peristiwa itu terjadi ia merasa akan mengalami hal buruk lagi, karena ia seorang muslim.
"Saya tahu, orang akan dengan cepat dan secara otomatis akan membanding-bandingkan kami, hanya karena faktanya kami berdua muslim. Saat itu semua orang tidak mau mendekat dan bicara dengan saya. Saya merasa sudah tidak ada kepercayaan lagi dalam kelompok di sekeliling saya. Rumor yang saya dengar, orang-orang mengatakan 'hati-hati dengan Klawon, lihatlah apa yang dilakukan temannya'," tutur Klawonn.
Puncaknya terjadi pada bulan Februari. Sekitar jam 02.00 dinihari, Klawon baru saja akan memejamkan matanya tapi terbangun oleh suara pukulan keras di pintu kamarnya. Seseorang menendang dengan keras pintu kamar itu, Klawonn awalnya berpikir akan ada latihan mendadak, ia lalu membuka pintu.
Ia melihat sebuat kertas tertempel di pintunya dengan tulisan "F---k you, burn in hell." Klawonn mencoba mengejar pelakunya, namun tak berhasil. Ia melaporkan kejadian itu pada para komandannya dan solusinya, Klawonn dipindahkan ke basis militer lain dengan alasan demi keselamatannya.
Klawonn memang merasa lebih aman, tapi ia kecewa dengan cara militer menyelesaikan kasus yang dilaporkannya. "Laporan demi laporan, tidak penyelesaian atau keadilan atas laporan saya. Saya keluhkan masalah ini, mereka cuma menjawab penyelidikan masih dilakukan, selanjutnya kasus ini hilang tanpa bekas," ungkap Klawonn.
Pasca insiden bulan Februari, Klawonn diberi cuti selama 10 hari dan ia pulang ke Florida. Untuk pertama kalinya, ia menceritakan apa yang dialaminya pada keluarganya. Begitu kembali ke basis militer, Klawonn bertekad untuk melakukan sesuatu untuk mengungkap perilaku diskriminasi yang dialami tentara-tentara AS yang muslim di dalam barak militer. Tak diduga, Klawonn mendapatkan banyak dukungan.
Dorothy Carkskadon, seorang kapten di unit pasukan cadangan yang menjadi korban luka dalam insiden penembakan di Ford Hood adalah satu yang memberikan dukungan pada Klawonn.
Klawonn berharap apa yang dilakukannya bisa membantu muslim lainnya yang bertugas di dinas kemiliteran AS. Klawonn menginginkan, salat Jumat bisa dilakukan di basis-basis militer dan militer AS bisa melakukan sesuatu yang lebih untuk mencegah perlakuan diskriminasi terutama pada tentara yang muslim. (ln/isc/abc)