Rabu, 15 Februari 2012

Steven Indra Terpikat Islam Karena Shalat


Bagi Steven Indra Wibowo, agama adalah sebuah pilihan hidup. Seperti filosofi yang dianut para leluhurnya, setiap pilihan inilah yang nantinya menjadi pegangan dalam mengarungi bahtera kehidupan. "Bagi saya, Islam adalah pegangan hidup," ujar pria kelahiran Jakarta, 14 Juli 1981.
Sebelum memutuskan memeluk Islam, Indra adalah seorang penganut Katolik yang taat. Ayahnya adalah salah seorang aktivis di GKI (Gereja Kristen Indonesia) dan Gereja Bethel. Di kalangan para aktivis GKI dan Gereja Bethel, ayahnya bertugas sebagai pencari dana di luar negeri bagi pembangunan gereja-gereja di Indonesia. Karena itu, tak mengherankan jika sang ayah menginginkan Indra kelak mengikuti jejaknya dengan menjadi seorang bruder (penyebar ajaran Katolik—Red).
Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, sejak usia dini ia sudah digembleng untuk menjadi seorang bruder. Oleh sang ayah, Indra kecil kemudian dimasukkan ke sekolah khusus para calon bruder Pangudi Luhur di Ambarawa, Jawa Tengah.
Hari-harinya ia habiskan di sekolah berasrama itu. Pendidikan kebruderan tersebut ia jalani hingga jenjang SMP. "Setamat dari Pangudi Luhur, saya harus melanjutkan ke sebuah sekolah teologi SMA di bawah Yayasan Pangudi Luhur," ujarnya.
Karena untuk menjadi seorang bruder, minimal harus memiliki ijazah diploma tiga (D3), selepas menamatkan pendidikan teologia di SMA tahun 1999, Indra didaftarkan ke Saint Michael’s College di Worcestershire, Inggris, yaitu sebuah sekolah tinggi khusus Katolik.
Di negeri Ratu Elizabeth itu, pria yang kini menjabat sebagai sekretaris I Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) ini mengambil jurusan Islamologi.
Selama menempuh pendidikan di Saint Michael’s College ini, Indra mempelajari mengenai hadist dalam ajaran Islam. "Intinya, kita mempelajari hadist dan riwayatnya itu untuk mencari celah agar orang Muslim percaya, bahwa apa yang diajarkan dalam agama mereka tidak benar. Memang kita disiapkan untuk menjadi seorang penginjil atau misionaris," paparnya. Bahkan, untuk mengemban tugas sebagai seorang penginjil, ia harus melakoni prosesi disumpah tidak boleh menikah dan harus mengabdikan seluruh hidupnya untuk Tuhan.
Namun, seiring dengan aktivitasnya sebagai seorang penginjil, justru mulai timbul keraguan dalam dirinya atas apa yang ia pelajari selama ini. Apa yang dipelajarinya, bertolak belakang dengan buku-buku yang ia temui di toko-toko buku. Hingga akhirnya, suatu hari tatkala mendatangi sebuah toko buku ternama di Jakarta, ia menemukan sebuah buku karangan Imam Ghazali.
Buku yang mengulas mengenai hadis dan sejarah periwayatannya itu cukup menarik perhatiannya.
Dari semula hanya sekadar iseng membaca gratis sambil berdiri di toko buku tersebut, Indra akhirnya memutuskan untuk membelinya. "Setelah saya baca dan pelajari buku tersebut, ternyata banyak referensi dan penjelasan mengenai hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Akhirnya, saya juga memutuskan untuk membeli buku kumpulan hadis-hadis Bukhari dan Muslim," kata dia.
Berawal dari sini, Indra mulai mengetahui bahwa hadist-hadist yang selama ini dipelajarinya di Saint Michael’s College, ternyata tidak diakui oleh umat Islam sendiri. "Hadist-hadist yang saya pelajari tersebut ternyata maudhu’ (palsu). Dari sana, kemudian saya mulai mencari-cari hadis yang sahih," tukasnya.
Dari Katedral ke Istiqlal
Keinginan Indra untuk mempelajari ajaran Islam, tak hanya sampai di situ. Di sela-sela tugasnya sebagai seorang penganut Katolik, diam-diam Indra mulai mempelajari gerakan shalat. Kegiatan belajar shalat itu ia lakukan selepas menjalankan ritual ibadah Minggu di gereja Katedral, Jakarta. Tak ada yang mengetahui kegiatan 'mengintipnya' itu, kecuali seorang adik laki-lakinya. Namun, sang adik diam saja atas perilakunya itu.
"Ketika waktu shalat zuhur datang dan adzan berkumandang dari seberang (Masjid Istiqlal—Red), kalung salib saya masukkan ke dalam baju, sepatu saya lepas dan titipkan. Kemudian, saya pinjam sandal tukang sapu kebun di Katedral. Setelah habis shalat, saya balik lagi mengenakan kalung salib dan kembali ke Katedral," paparnya.
Aktivitasnya yang 'konyol' di mata sang adik itu, ia lakoni selama dua bulan. Dan, berkat kerja sama sang adik pula, tindakan yang ia lakukan tersebut tidak sampai ketahuan oleh ayahnya.
Dari situ, lanjut Indra, ia baru sebatas mengetahui orang Islam itu shalat empat rakaat dan selama shalat diam semua. Tahap berikutnya, ayah satu orang putri ini mulai belajar shalat maghrib di sebuah masjid di daerah Muara Karang, Jakarta Utara. Ketika itu, ia beserta keluarganya tinggal di wilayah tersebut.
"Dari situ, saya mulai mengetahui ternyata ada juga shalat yang bacaannya keras. Kemudian, saya mulai mempelajari shalat-shalat apa saja yang bacaannya dikeraskan dan tidak." Setelah belajar shalat Zuhur dan Maghrib, ia melanjutkan dengan shalat Isya, Subuh, dan Ashar.
Semua gerakan dan bacaan shalat lima waktu tersebut ia pelajari secara otodidak, yakni dengan cara mengikuti apa yang dilakukan oleh jamaah shalat. Sampai tata cara berwudhu pun, menurut penuturannya, ia pelajari dan hafal dengan menirukan apa yang dilakukan oleh para jamaah shalat.
"Saya lihat orang berwudhu, ingat-ingat gerakannya, baru setelah sepi saya mempraktikkannya. Dan, Alhamdulillah dalam waktu seminggu saya sudah bisa hafal gerakan berwudhu. Begitu juga, dengan gerakan shalat dan bacaannya. Saya melihat gerakan imam dan mendengar bacaannya sambil berusaha mengingat dan menghafalnya," terang Direktur Operasional Mustika (Muslim Tionghoa dan Keluarga), sebuah lembaga yang mewadahi silahturahim, informasi, konsultasi, dan pembinaan agama Islam.
Untuk memperdalam pengetahuannya mengenai tata cara ibadah shalat, Indra pun mencoba mencari tahu arti dan makna dari setiap gerakan serta bacaan dalam shalat, melalui buku-buku panduan shalat yang harganya relatif murah. Melalui shalat ini, ungkap Indra, ia menemukan suatu ibadah yang lebih bermakna, lebih dari hanya sekadar duduk, kemudian mendengarkan orang ceramah dan kadang sambil tertidur, akhirnya tidak dapat apa-apa dan hampa.
"Ibaratnya sebuah bola bowling, tampak di permukaan luarnya keras dan kokoh, tetapi di dalamnya kosong. Berbeda dengan ibadah shalat yang ibaratnya sebuah kelereng kecil, walaupun kecil, di dalamnya padat. Saya lebih memilih menjadi sebuah kelereng kecil daripada bola bowling tersebut," ujarnya mengumpamakan ibadah yang pernah ia lakoni sebelum menjadi Muslim dan sesudahnya.
Tujuh jahitan
Setelah merasa mantap, Indra pun memutuskan untuk masuk Islam dengan dibantu oleh seorang temannya di Serang, Banten. Peristiwa itu terjadi sebelum datangnya bulan Ramadhan di tahun 2000.
Keislamannya ini, kata dia, baru diketahui oleh kedua orang tuanya setelah ia memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Kabar mengenai keislamannya ini diketahui orang tuanya dari para rekan bisnis sang ayah.
Karena mungkin pada waktu itu, papa saya sedang mengerjakan proyek pembangunan resort di wilayah Muara Karang dan Pluit, makanya papa punya banyak kenalan dan teman. Dan, mungkin orang-orang itu sering melihat saya datang ke masjid dan mengenakan peci, makanya dilaporkan ke papa, kenangnya.
Ayahnya pun memutuskan untuk mengirim orang untuk memata-matai setiap aktivitas Indra sehari-hari. Setelah ada bukti nyata, ia kemudian dipanggil dan disidang oleh ayahnya. Saya beri penjelasan kepada beliau bahwa Islam itu bagi saya adalah pegangan hidup.
Di hadapan ayahnya, Indra mengatakan bahwa selama menjalani pendidikan calon bruder, dirinya mendapatkan kenyataan bahwa pastur yang selama ini ia hormati ternyata melakukan perbuatan asusila terhadap para suster. Demikian juga, dengan para frater yang menghamili siswinya dan para bruder yang menjadi homo. Ibaratnya saya pegangan ke sebuah pohon yang ranting-ranting daunnya pada patah, dan saya rasa pohon itu sudah mau tumbang kalau diterpa angin. Sampai akhirnya, saya ketemu dengan sebatang bambu kecil, yang tidak akan patah meski diterpa angin.
Seakan tidak terima dengan penjelasan sang anak, ayahnya pun menampar Indra hingga kepalanya terbentur ke kaca. Beruntung saat kejadian tersebut sang ibu langsung membawa Indra ke Rumah Sakit Atmajaya. Sebagai akibatnya, ia mendapatkan tujuh jahitan di bagian dahinya. Kendati begitu, ibunya tetap tidak bisa menerima keputusan putra pertamanya tersebut.
Tidak hanya mendapatkan tujuh jahitan, oleh ayahnya kemudian Indra diusir setelah dipaksa harus menandatangani surat pernyataan di hadapan notaris, mengenai pelepasan haknya sebagai salah satu pewaris dalam keluarga. Saya tidak boleh menerima semua fasilitas keluarga yang menjadi hak saya, ujarnya. Meski hidup dengan penuh cobaan, ungkap Indra, masih ada Allah SWT yang menyayanginya dan membukakan pintu rezeki untuknya. Salah satunya, proposal pengajuan beasiswa yang ia sampaikan ke Universitas Bina Nusantara (Binus) disetujui. Di Binus juga, ia mempunyai waktu luang dan kesempatan untuk menyampaikan syiar Islam, baik melalui forum-forum pengajian maupun internet.
Karena itu, saya melihat mualaf itu ibaratnya sebuah besi yang baru jadi. Jadi, saatnya Allah menempa kita dan menjadikannya sebilah pedang. Jadi, kalau tidak ditempa, tidak akan tajam, demikian katanya.
Biodata
Nama : Indra Wibowo
Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta, 14 Juli 1981
Masuk Islam : 2000
Status : Menikah dan mempunyai satu orang putri
Pendidikan Akhir : Sarjana (S1) Komunikasi Universitas Padjadjaran
Aktivitas :
- Sekretaris I Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI)
- Direktur Operasional Mustika (Muslim Tionghoa dan Keluarga)(rpblk)

Rabu, 25 Januari 2012

Masuk Islamnya Pendeta Italia Setelah Menyaksikan Jenazah Raja Fahd
April 20, 2011 // Kisah Hidayah Islam // 13 Comments



662
Share
Hidayah Allah datangnya tidak bisa diraba-raba. Apabila Allah menghendaki maka ia akan mendatangi hamba yang berbahagia itu. Demikianlah kisah seorang pendeta asal Italia.

Seorang pendeta terkenal di Italia mengumumkan masuk Islam setelah menyaksikan jenazah raja Arab Saudi, Fahd bin Abdul Aziz, untuk kemudian mengucapkan dua kalimat syahadat. Hal itu terjadi setelah ia melihat betapa sederhananya prosesi pemakaman jenazah yang jauh dari pengeluaran biaya yang mahal dan berlebihan.

Sang mantan pendeta telah mengikuti secara seksama prosesi pemakaman sang Raja yang bersamaan waktunya dengan jenazah yang lain. Ia melihat tidak ada perbedaan sama sekali antara kedua jenazah tersebut. Keduanya sama-sama dishalatkan dalam waktu yang bersamaan.

Pemandangan ini meninggalkan kesan mendalam tersendiri pada dirinya sehingga gambaran persamaan di dalam Islam dan betapa sederhananya prosesi pemakaman yang disaksikan oleh seluruh dunia di pekuburan ‘el-oud’ itu membuatnya masuk Islam dan merubah kehidupannya. Tidak ada perbedaan sama sekali antara kuburan seorang raja dan penguasa besar dengan kuburan rakyat jelata. Karena itulah, ia langsung mengumumkan masuk Islam.

Salah seorang pengamat masalah dakwah Islam mengatakan, kisah masuk Islamnya sang pendeta tersebut setelah sekian lama perjalanan yang ditempuh mengingatkan pada upaya besar yang telah dikerahkan di dalam mengenalkan Islam kepada sebagian orang-orang Barat. Ada seorang Da’i yang terus berusaha sepanjang 15 tahun untuk berdiskusi dengan pendeta ini dan mengajaknya masuk Islam. Tetapi usaha itu tidak membuahkan hasil hingga ia sendiri menyaksikan prosesi pemakaman Raja Fahd yang merupakan pemimpin yang dikagumi dan brilian. Baru setelah itu, sang pendeta masuk Islam.

Sang Muslim baru yang mengumumkan keislamannya itu pada hari prosesi pemakaman jenazah pernah berkata kepada Dr al-Malik, “Buku-buku yang kalian tulis, surat-surat kalian serta diskusi dan debat yang kalian gelar tidak bisa mengguncangkanku seperti pemandangan yang aku lihat pada pemakaman jenazah raja Fahd yang demikian sederhana dan penuh toleransi ini.”

Ia menambahkan, “Pemandangan para hari Selasa itu akan membekas pada jiwa banyak orang yang mengikuti prosesi itu dari awal seperti saya ini.”

Ia meminta agar kaum Muslimin antusias untuk menyebarkan lebih banyak lagi gambaran toleransi Islam dan keadilannya agar dapat membekas pada jiwa orang lain. Ia menegaskan, dirinya telah berjanji akan mengerahkan segenap daya dan upaya dari sisa usianya yang 62 tahun in untuk menyebarkan gambaran Islam yang begitu ideal. Semoga Allah menjadikan keislamannya berkah bagi alam semesta…

Leila Ahmad ( saya pilih sendiri Islam )


''Orangtua Membebaskan Saya Memilih, dan Saya Memilih Islam''
Kamis, 29/12/2011 15:49 WIB



Leila Ahmad adalah anak hasil dari perkawinan antar bangsa. Ibu Leila dari Australi, sedangkan ayahnya asal Pakistan. Tapi keluarga Leila bukan keluarga yang religius dan memberikan kebebasan pada Leila dalam urusan agama.

"Orangtua membiarkan saya untuk memilih. Jadi, saya punya kesempatan untuk memahami Islam dengan sebenar-benarnya untuk diri saya sendiri. Tidak ada orang yang memaksa saya dalam hal apapun," ujar Leila yang tinggal di Cannes, di Australia.

Leila bahkan tidak tahu kalau ayahnya seorang muslim. Ia hanya melihat ayahnya pergi ke suatu tempat setiap hari Jumat. Leila baru setelah bertanya pada ibunya, kalau ayahnya pergi untuk salat Jumat.

Leila lalu bertanya soal salat Jumat pada ayahnya. Dari penjelasan sang ayah, Leila tahu apa itu salat Jumat, apa tujuannya, bahwa salat Jumat itu bagian dari salat lima waktu dan dilaksanakan pada waktu salat Zuhur.

Saat bertanya apakah Leila boleh ikut saat ayahnya pergi salat Jumat. Ia mendapatkan jawaban "ya, boleh."

Pertama Kali ke Masjid

Leila ingin melihat sendiri bagaimana salat Jumat dilaksanakan. Akhirnya, tibalah hari itu. Leila akan ikut ayahnya yang akan salat Jumat ke masjid. Ayahnya meminta Leila mengenakan baju panjang berlengan panjang, dan mengenakan jilbab. Ia menuruti permintaan ayahnya.

Masjid yang pertama kali dikunjungi Leila, sebenarnya bukan masjid seperti pada umumnya, tapi sebuah rumah yang digunakan untuk salat berjamaah dan kegiatan keagamaan lainnya. Surat Al-Quran pertama yang didengar Leila adalah Surat Al-Fil. Imam masjid membacakannya dalam bahasa Arab dan bahasa Inggris.

"Ketika saya mendengarkan surat itu, terutama yang dalam bahasa Arab, rasanya lembut dan ringan. Membuat saya merasa damai," ungkap Leila.

Setelah itu, Leila menanyakan banyak hal lagi pada ayahnya, seperti; mengapa orang harus salat, mengapa ayahnya memilih agama Islam, mengapa perempuan muslim mengenakan jilbab, apa itu Al-Quran, apa arti seluruh Al-Quran, apa makna Islam secara umum, semuanya.

"Ayah menjelaskan semuanya, dan menunjukkan pada saya kitab suci Al-Quran," ujar Leila

"Kata-kata dalam Al-Quran sangat mengagumkan. Begitu Indah. Indah sekali, dan tidak ada yang menandinginya," sambung Leila setelah ia membaca isi Al-Quran.

Setelah itu, Leila mencari tahu lebih banyak tentang Islam. Ia juga sering ikut ayahnya, bukan hanya pada salat Jumat, tapi di waktu-waktu salat lainnya, bahkan salat Idul Fitri. Leila berusaha untuk mengikuti ajaran Islam, tapi ia belum memutuskan untuk masuk Islam.

Keputusan Final

Hari bersejarah itu pun datang. Leila membulatkan tekad untuk menjadi seorang muslimah. Ia dan keluarganya pergi ke masjid, dan dengan bimbingan imam masjid, Leila mengucapkan dua kalimat syahadat. Pada saat yang sama, saudara kandung lelaki Leila satu-satunya juga masuk Islam.

Butuh waktu satu tahun bagi Leila untuk bisa membaca tulisan Arab dalam Al-Quran. Setelah ia masuk Islam, keluarganya pindah ke Gold Coast agar Leila dan sudara kandungnya bisa belajar lebih banyak tentang Islam dan Leila bisa menjadi seorang muslimah yang lebih baik.

"Saudara kandung saya butuh waktu yang agak lama dalam mempelajari Islam, tapi alhamdulillah, kami berdua sekarang muslim dan kami berdua sudah bisa membaca Al-Quran," ujar Leila.

Sewaktu masih tinggal di Cannes, Leila kehilangan banyak teman saat tahu ia menjadi seorang muslim. Di saat-saat sulit itu, Leila hanya mendapat dukungan penuh dari ibunya, saudara kandungnya, ayahnya, dan kerabat dari pihak ayahnya.

"Tanpa Islam, saya mungkin tidak akan mampu melewati semua itu. Islam menunjukkan pada saya bahwa teman sejati akan selalu bersama kita, dalam suka dan duka. Jika mereka mengerti, mereka pasti akan tetap menjadikan saya sahabat," tutur Leila.

Saat pindah ke Gold Coast, awalnya Leila juga tidak punya banyak kenalan di sekolah meski di Gold Coast lebih banyak komunitas Muslimnya. Anak-anak di sana lebih paham tentang Islam dan menjalin persabahatn di Gold Coast lebih mudah.

"Saya punya dua sahabat yang sangat hebat. Saya berharap, Insya Allah, suatu hari mereka juga masuk Islam. Mereka sering ikut saya ke tempat salat Jumat, dan mereka bilang apa yang mereka lihat sangat indah. Alhamdulillah, saya senang mendengarnya," ujar Leila.

Berjilbab

Leila mulai berpikir untuk mengenakan jilbab saat ia dan keluarganya pindah ke Gold Coast. Ia melihat lebih banyak orang-orang Islam di sekitarnya dan banyak non-Muslim yang memberikan penghormatan pada Muslim, sehingga memudahkan Leila untuk menjalankan ajaran Islam secara terbuka, tidak sembunyi-sembunyi. Ketika ada yang bertanya tentang agamanya, Leila bisa dengan lantang dan terus terang bahwa "saya seorang mulsim dan saya bangga menjadi seorang muslim."

Suatu hari, Leila menyatakan keinginannya berjilbab pada ayahnya. Ia pun langsung mengenakan jilbab. Leila merasa lebih nyaman setelah berjilbab. Orang memandangnya dengan penuh hormat, meski ada juga yang memandangnya dengan sorotan mata aneh, seolah jijik melihat jilbab Leila.

"Saya merasa senang mengenakan jilbab. Saya lebih baik mati daripada harus melepaskan jilbab saya," tukasnya.

Leila tetap merasa menjadi orang yang sama setelah menjadi seorang muslimah. Bedanya, ia sekarang harus hati-hati memilih makanan, yang terjamin kehalalannya.

Ia mengakui, Islam memberikannya banyak tawaran. "Buat saya, Islam menawarkan kedamaian, kesejahteraan, kebenaran, cinta, kebersihan dan cara hidup. Inilah yang paling mendasar, Islam adalah cara hidup," tandas Leila. (ln/oi)

di ambuil dari
http://www.voa-islam.com/lintasberita/eramuslim/2011/12/29/17244/orangtua-membebaskan-saya-memilih-dan-islam/

Pemuka Gereja Ortodoks Rusia itu Akhirnya Memilih Menjadi Seorang Muslim
Selasa, 27/12/2011 11:53 WIB



Dr. Viacheslav Polosin adalah seorang pater yang masuk dalam jajaran pejabat tinggi di Gereja Ortodoks Rusia. Pria kelahiran Moskow, 26 Juni 1956 mulai bekerja untuk Gereja Ortodoks pada tahun 1980 sebaga seorang "Reader" (orang yang bertanggung jawab untuk membacakan kutipan-kutipan kitab suci dalam peribadatan).

Polosin adalah lulusan Universitas Moskow, Fakultas Filsafat, jurusan sosiologi, tahun 1978. Ia kemudian belajar teologi di sebuah seminari di Moskow. Setelah lulus dari seminari tahun 1983, Polosin ditunjuk sebagai diaken (mengerjakan tugas-tugas pelayananan gereja), lalu diangkat menjadi pater.

Polosin bertugas menjadi pater di sejumlah paroki di kawasan Asia Tengah sampai tahun 1985. Ia pernah menjadi kepala gereja di kota Dushanbe, tapi kemudian dideportasi dari wilayah itu oleh otorita pemerintahan Soviet atas tuduhan membangkang pemerintahan komunis Soviet. Polosin lalu bekerja sebagai penerjemah paruh waktu di departemen penerbitan Kantor Keuskupan di Moskow.

Juni 1988, ketika penindasan terhadap agama oleh pemerintah Soviet mulai reda, Polosin kembali menjadi pendeta di sebuah gereja baru yang nyaris roboh di kota Obninsk, wilayah Kaluzhsky, hingga ia dipromosikan menjadi imam agung pada tahun 1990.

Perjalanan karir Polosin sebagai pemuka agama semakin mulus. Pada bulan Maret 1990, Polosin terpilih sebagai deputi dan anggota Mahkamah Soviet Federasi Rusia, mewakili wilayah Kaluzhsky. Di Mahkamah itu, Polosin menjadi ketua bidang kebebasan beragama hingga tahun 1993. Semasa jabatannya, Polosin berperan dalam pembuatan undang-undang "Kebebasan Beragama".

Sejak tahun 1990, Polosin ikut serta dalam pendirian gerakan Kristen Demokratik di Rusia. Ia sendiri duduk sebagai salah satu pengurus di gerakan tersebut sampai tahun 1993. Pada saat yang sama, Polosin menyelesaikan studinya di Akademi Diplomatik Kementerian Luar Negeri Rusia dan mendapat gelar MA untuk bidang ilmu politik.

Aktif berpolitik, Polosin sudah meninggalkan kegiatan gereja sejak tahun 1991 dengan alasan sulit baginya untuk membagi waktu antara aktivitasnya di bidang politik dan agama. Setelah Mahkamah Soviet dibubarkan tahun 1993, Polosin menolak tawaran untuk kembali berkegiatan di gereja sebagai pendeta. Ia lebih memilih menjadi konsultan paruh waktu bagi Departemen Hubungan Internal Gereja, menjadi penasehat untuk pemerintahan negara bagian Duma yang tergabung dalam Komite Asosiasi Publik dan Organisasi Keagamaan.

Tahun 1999, Polosin meraih gelar setara dengan PhD setelah berhasil memperhankan thesisnya berjudul "Dialectics of a Myth and Political Myth Creation". Setelah itu, Polosin banyak menulis artikel bertema keagamaan dan isu-isu agama-politik.
Salah satu buku karyanya adalah "Myth. Religion. State" yang mengupas tentang pengaruh mitos penciptaan pada perkembangan politik di masyarakat, serta keuntungan-keuntungan ideologi monoteistik untuk membangun sebuah negara.

Masih di tahun 1999, Polosin membuat pengumuman yang mengejutkan bahwa ia dan istrinya kembali ke monoteisme, kembali pada agama nenek moyangnya, dan memeluk Islam. Ia menggunakan nama islami "Ali" di depan namanya.

Setelah masuk Islam, Polosin terpilih sebagai salah satu ketua "Refakh" sebuah gerakan sosial dan politik komunitas Muslim di Rusia. Ia juga menjadi pemimpin redaksi "Muslim Newspaper" yang diterbitkan pada tahun 1999.

Tahun 2003, Polosin terpilih sebagai presiden Persatuan Wartawan Muslim di Rusia, serta menjadi penasehat di Dewan Mufti Rusia. (kw/DS)