Rabu, 25 Januari 2012

Masuk Islamnya Pendeta Italia Setelah Menyaksikan Jenazah Raja Fahd
April 20, 2011 // Kisah Hidayah Islam // 13 Comments



662
Share
Hidayah Allah datangnya tidak bisa diraba-raba. Apabila Allah menghendaki maka ia akan mendatangi hamba yang berbahagia itu. Demikianlah kisah seorang pendeta asal Italia.

Seorang pendeta terkenal di Italia mengumumkan masuk Islam setelah menyaksikan jenazah raja Arab Saudi, Fahd bin Abdul Aziz, untuk kemudian mengucapkan dua kalimat syahadat. Hal itu terjadi setelah ia melihat betapa sederhananya prosesi pemakaman jenazah yang jauh dari pengeluaran biaya yang mahal dan berlebihan.

Sang mantan pendeta telah mengikuti secara seksama prosesi pemakaman sang Raja yang bersamaan waktunya dengan jenazah yang lain. Ia melihat tidak ada perbedaan sama sekali antara kedua jenazah tersebut. Keduanya sama-sama dishalatkan dalam waktu yang bersamaan.

Pemandangan ini meninggalkan kesan mendalam tersendiri pada dirinya sehingga gambaran persamaan di dalam Islam dan betapa sederhananya prosesi pemakaman yang disaksikan oleh seluruh dunia di pekuburan ‘el-oud’ itu membuatnya masuk Islam dan merubah kehidupannya. Tidak ada perbedaan sama sekali antara kuburan seorang raja dan penguasa besar dengan kuburan rakyat jelata. Karena itulah, ia langsung mengumumkan masuk Islam.

Salah seorang pengamat masalah dakwah Islam mengatakan, kisah masuk Islamnya sang pendeta tersebut setelah sekian lama perjalanan yang ditempuh mengingatkan pada upaya besar yang telah dikerahkan di dalam mengenalkan Islam kepada sebagian orang-orang Barat. Ada seorang Da’i yang terus berusaha sepanjang 15 tahun untuk berdiskusi dengan pendeta ini dan mengajaknya masuk Islam. Tetapi usaha itu tidak membuahkan hasil hingga ia sendiri menyaksikan prosesi pemakaman Raja Fahd yang merupakan pemimpin yang dikagumi dan brilian. Baru setelah itu, sang pendeta masuk Islam.

Sang Muslim baru yang mengumumkan keislamannya itu pada hari prosesi pemakaman jenazah pernah berkata kepada Dr al-Malik, “Buku-buku yang kalian tulis, surat-surat kalian serta diskusi dan debat yang kalian gelar tidak bisa mengguncangkanku seperti pemandangan yang aku lihat pada pemakaman jenazah raja Fahd yang demikian sederhana dan penuh toleransi ini.”

Ia menambahkan, “Pemandangan para hari Selasa itu akan membekas pada jiwa banyak orang yang mengikuti prosesi itu dari awal seperti saya ini.”

Ia meminta agar kaum Muslimin antusias untuk menyebarkan lebih banyak lagi gambaran toleransi Islam dan keadilannya agar dapat membekas pada jiwa orang lain. Ia menegaskan, dirinya telah berjanji akan mengerahkan segenap daya dan upaya dari sisa usianya yang 62 tahun in untuk menyebarkan gambaran Islam yang begitu ideal. Semoga Allah menjadikan keislamannya berkah bagi alam semesta…

Leila Ahmad ( saya pilih sendiri Islam )


''Orangtua Membebaskan Saya Memilih, dan Saya Memilih Islam''
Kamis, 29/12/2011 15:49 WIB



Leila Ahmad adalah anak hasil dari perkawinan antar bangsa. Ibu Leila dari Australi, sedangkan ayahnya asal Pakistan. Tapi keluarga Leila bukan keluarga yang religius dan memberikan kebebasan pada Leila dalam urusan agama.

"Orangtua membiarkan saya untuk memilih. Jadi, saya punya kesempatan untuk memahami Islam dengan sebenar-benarnya untuk diri saya sendiri. Tidak ada orang yang memaksa saya dalam hal apapun," ujar Leila yang tinggal di Cannes, di Australia.

Leila bahkan tidak tahu kalau ayahnya seorang muslim. Ia hanya melihat ayahnya pergi ke suatu tempat setiap hari Jumat. Leila baru setelah bertanya pada ibunya, kalau ayahnya pergi untuk salat Jumat.

Leila lalu bertanya soal salat Jumat pada ayahnya. Dari penjelasan sang ayah, Leila tahu apa itu salat Jumat, apa tujuannya, bahwa salat Jumat itu bagian dari salat lima waktu dan dilaksanakan pada waktu salat Zuhur.

Saat bertanya apakah Leila boleh ikut saat ayahnya pergi salat Jumat. Ia mendapatkan jawaban "ya, boleh."

Pertama Kali ke Masjid

Leila ingin melihat sendiri bagaimana salat Jumat dilaksanakan. Akhirnya, tibalah hari itu. Leila akan ikut ayahnya yang akan salat Jumat ke masjid. Ayahnya meminta Leila mengenakan baju panjang berlengan panjang, dan mengenakan jilbab. Ia menuruti permintaan ayahnya.

Masjid yang pertama kali dikunjungi Leila, sebenarnya bukan masjid seperti pada umumnya, tapi sebuah rumah yang digunakan untuk salat berjamaah dan kegiatan keagamaan lainnya. Surat Al-Quran pertama yang didengar Leila adalah Surat Al-Fil. Imam masjid membacakannya dalam bahasa Arab dan bahasa Inggris.

"Ketika saya mendengarkan surat itu, terutama yang dalam bahasa Arab, rasanya lembut dan ringan. Membuat saya merasa damai," ungkap Leila.

Setelah itu, Leila menanyakan banyak hal lagi pada ayahnya, seperti; mengapa orang harus salat, mengapa ayahnya memilih agama Islam, mengapa perempuan muslim mengenakan jilbab, apa itu Al-Quran, apa arti seluruh Al-Quran, apa makna Islam secara umum, semuanya.

"Ayah menjelaskan semuanya, dan menunjukkan pada saya kitab suci Al-Quran," ujar Leila

"Kata-kata dalam Al-Quran sangat mengagumkan. Begitu Indah. Indah sekali, dan tidak ada yang menandinginya," sambung Leila setelah ia membaca isi Al-Quran.

Setelah itu, Leila mencari tahu lebih banyak tentang Islam. Ia juga sering ikut ayahnya, bukan hanya pada salat Jumat, tapi di waktu-waktu salat lainnya, bahkan salat Idul Fitri. Leila berusaha untuk mengikuti ajaran Islam, tapi ia belum memutuskan untuk masuk Islam.

Keputusan Final

Hari bersejarah itu pun datang. Leila membulatkan tekad untuk menjadi seorang muslimah. Ia dan keluarganya pergi ke masjid, dan dengan bimbingan imam masjid, Leila mengucapkan dua kalimat syahadat. Pada saat yang sama, saudara kandung lelaki Leila satu-satunya juga masuk Islam.

Butuh waktu satu tahun bagi Leila untuk bisa membaca tulisan Arab dalam Al-Quran. Setelah ia masuk Islam, keluarganya pindah ke Gold Coast agar Leila dan sudara kandungnya bisa belajar lebih banyak tentang Islam dan Leila bisa menjadi seorang muslimah yang lebih baik.

"Saudara kandung saya butuh waktu yang agak lama dalam mempelajari Islam, tapi alhamdulillah, kami berdua sekarang muslim dan kami berdua sudah bisa membaca Al-Quran," ujar Leila.

Sewaktu masih tinggal di Cannes, Leila kehilangan banyak teman saat tahu ia menjadi seorang muslim. Di saat-saat sulit itu, Leila hanya mendapat dukungan penuh dari ibunya, saudara kandungnya, ayahnya, dan kerabat dari pihak ayahnya.

"Tanpa Islam, saya mungkin tidak akan mampu melewati semua itu. Islam menunjukkan pada saya bahwa teman sejati akan selalu bersama kita, dalam suka dan duka. Jika mereka mengerti, mereka pasti akan tetap menjadikan saya sahabat," tutur Leila.

Saat pindah ke Gold Coast, awalnya Leila juga tidak punya banyak kenalan di sekolah meski di Gold Coast lebih banyak komunitas Muslimnya. Anak-anak di sana lebih paham tentang Islam dan menjalin persabahatn di Gold Coast lebih mudah.

"Saya punya dua sahabat yang sangat hebat. Saya berharap, Insya Allah, suatu hari mereka juga masuk Islam. Mereka sering ikut saya ke tempat salat Jumat, dan mereka bilang apa yang mereka lihat sangat indah. Alhamdulillah, saya senang mendengarnya," ujar Leila.

Berjilbab

Leila mulai berpikir untuk mengenakan jilbab saat ia dan keluarganya pindah ke Gold Coast. Ia melihat lebih banyak orang-orang Islam di sekitarnya dan banyak non-Muslim yang memberikan penghormatan pada Muslim, sehingga memudahkan Leila untuk menjalankan ajaran Islam secara terbuka, tidak sembunyi-sembunyi. Ketika ada yang bertanya tentang agamanya, Leila bisa dengan lantang dan terus terang bahwa "saya seorang mulsim dan saya bangga menjadi seorang muslim."

Suatu hari, Leila menyatakan keinginannya berjilbab pada ayahnya. Ia pun langsung mengenakan jilbab. Leila merasa lebih nyaman setelah berjilbab. Orang memandangnya dengan penuh hormat, meski ada juga yang memandangnya dengan sorotan mata aneh, seolah jijik melihat jilbab Leila.

"Saya merasa senang mengenakan jilbab. Saya lebih baik mati daripada harus melepaskan jilbab saya," tukasnya.

Leila tetap merasa menjadi orang yang sama setelah menjadi seorang muslimah. Bedanya, ia sekarang harus hati-hati memilih makanan, yang terjamin kehalalannya.

Ia mengakui, Islam memberikannya banyak tawaran. "Buat saya, Islam menawarkan kedamaian, kesejahteraan, kebenaran, cinta, kebersihan dan cara hidup. Inilah yang paling mendasar, Islam adalah cara hidup," tandas Leila. (ln/oi)

di ambuil dari
http://www.voa-islam.com/lintasberita/eramuslim/2011/12/29/17244/orangtua-membebaskan-saya-memilih-dan-islam/

Pemuka Gereja Ortodoks Rusia itu Akhirnya Memilih Menjadi Seorang Muslim
Selasa, 27/12/2011 11:53 WIB



Dr. Viacheslav Polosin adalah seorang pater yang masuk dalam jajaran pejabat tinggi di Gereja Ortodoks Rusia. Pria kelahiran Moskow, 26 Juni 1956 mulai bekerja untuk Gereja Ortodoks pada tahun 1980 sebaga seorang "Reader" (orang yang bertanggung jawab untuk membacakan kutipan-kutipan kitab suci dalam peribadatan).

Polosin adalah lulusan Universitas Moskow, Fakultas Filsafat, jurusan sosiologi, tahun 1978. Ia kemudian belajar teologi di sebuah seminari di Moskow. Setelah lulus dari seminari tahun 1983, Polosin ditunjuk sebagai diaken (mengerjakan tugas-tugas pelayananan gereja), lalu diangkat menjadi pater.

Polosin bertugas menjadi pater di sejumlah paroki di kawasan Asia Tengah sampai tahun 1985. Ia pernah menjadi kepala gereja di kota Dushanbe, tapi kemudian dideportasi dari wilayah itu oleh otorita pemerintahan Soviet atas tuduhan membangkang pemerintahan komunis Soviet. Polosin lalu bekerja sebagai penerjemah paruh waktu di departemen penerbitan Kantor Keuskupan di Moskow.

Juni 1988, ketika penindasan terhadap agama oleh pemerintah Soviet mulai reda, Polosin kembali menjadi pendeta di sebuah gereja baru yang nyaris roboh di kota Obninsk, wilayah Kaluzhsky, hingga ia dipromosikan menjadi imam agung pada tahun 1990.

Perjalanan karir Polosin sebagai pemuka agama semakin mulus. Pada bulan Maret 1990, Polosin terpilih sebagai deputi dan anggota Mahkamah Soviet Federasi Rusia, mewakili wilayah Kaluzhsky. Di Mahkamah itu, Polosin menjadi ketua bidang kebebasan beragama hingga tahun 1993. Semasa jabatannya, Polosin berperan dalam pembuatan undang-undang "Kebebasan Beragama".

Sejak tahun 1990, Polosin ikut serta dalam pendirian gerakan Kristen Demokratik di Rusia. Ia sendiri duduk sebagai salah satu pengurus di gerakan tersebut sampai tahun 1993. Pada saat yang sama, Polosin menyelesaikan studinya di Akademi Diplomatik Kementerian Luar Negeri Rusia dan mendapat gelar MA untuk bidang ilmu politik.

Aktif berpolitik, Polosin sudah meninggalkan kegiatan gereja sejak tahun 1991 dengan alasan sulit baginya untuk membagi waktu antara aktivitasnya di bidang politik dan agama. Setelah Mahkamah Soviet dibubarkan tahun 1993, Polosin menolak tawaran untuk kembali berkegiatan di gereja sebagai pendeta. Ia lebih memilih menjadi konsultan paruh waktu bagi Departemen Hubungan Internal Gereja, menjadi penasehat untuk pemerintahan negara bagian Duma yang tergabung dalam Komite Asosiasi Publik dan Organisasi Keagamaan.

Tahun 1999, Polosin meraih gelar setara dengan PhD setelah berhasil memperhankan thesisnya berjudul "Dialectics of a Myth and Political Myth Creation". Setelah itu, Polosin banyak menulis artikel bertema keagamaan dan isu-isu agama-politik.
Salah satu buku karyanya adalah "Myth. Religion. State" yang mengupas tentang pengaruh mitos penciptaan pada perkembangan politik di masyarakat, serta keuntungan-keuntungan ideologi monoteistik untuk membangun sebuah negara.

Masih di tahun 1999, Polosin membuat pengumuman yang mengejutkan bahwa ia dan istrinya kembali ke monoteisme, kembali pada agama nenek moyangnya, dan memeluk Islam. Ia menggunakan nama islami "Ali" di depan namanya.

Setelah masuk Islam, Polosin terpilih sebagai salah satu ketua "Refakh" sebuah gerakan sosial dan politik komunitas Muslim di Rusia. Ia juga menjadi pemimpin redaksi "Muslim Newspaper" yang diterbitkan pada tahun 1999.

Tahun 2003, Polosin terpilih sebagai presiden Persatuan Wartawan Muslim di Rusia, serta menjadi penasehat di Dewan Mufti Rusia. (kw/DS)