bergagai kisah nyata perjalanan seorang mencari ketenangan , kebenaran, kabutuhan akan tuhan yang serba maha,,,, yang menginspirasi dan menyayat hati ....
selamat datang
Rabu, 06 Juli 2011
Abu bakar Assyidiq
Pada awal rosullah SAW pertama kali,diangkat menjadi Rosul,,,pada masa itu rosullah menyebarkannya secara sembunyi-sembunyi...
pada saat itu, Abu bakar ibnu Abi Quhafah sedang berada di yaman.dalam sebuah riwayat yang berasal dari Abdullah ibnu mas'ud,dikisahkan bahwa ditengah perjalannannya, Abu bakar menemui seorang lelaki tua dari kabillah Azd.lelaki ini telah mempelajari kitab suci-kitab suci yang diturunkan sebelumnya. ia mengatakan kepada Abu bakar bahwa telah tiba waktunya seorang nabi dari suku quraisy diutus di mekkah.ia juga melihat tanda-tanda yang menunjukan bahwa Abu bakar akan menjadi salah satu pembantu terdekat nabi ini dalam menyampaikan risalahnya.pada akhr pertemuan,lelaki itu berkata kpada Abu bakar,"jangan pernah berpaling dari kebenaran.berpegang tegulah pada jalan yang benar dan lurus. takutlah kepada Allah dalamsegala hal yang di anugerahkan-Nya kepadamu!"
Abu bakarpun meneruskan perjalananya.sebelum pulang ke mekkah,Abu bakar sekali lagi mengunjungi lelaki tua itu.lelaki itu mengubah beberapa syair pujian untuk sang nabi yang di tunggu-tunggu dan berpesan kepada Abu bakar, jika Abu bakar nanti bertemu dengaN sang nabi,untuk menyaMpaikaN syair-syair itu kepadanya.
sesampainya di mekkah, Abu bakar dikejutkan oleh kunjungan mendadak pemuka Quraisy,diantaranya,Abu jahal dan abul bakhtiar. biasnya,mereka menunggu Abu bakar ditempat pertemuan,bukan berkunjung kerumahnya.
abu bakar bartanya,"ada apa?apakah kalian tertimpah musibah?atau ada perkara penting yang kalian ingin sampaikan?"
"wahai Abu bakar,"jwb mereka,"orang-orang ramai menceritakan peristiwa penting. Muhammad anak yatim yang di asuh oleh abu thalib itu,mengira bahwa dirinya adalah nabi. kalau bukan karena engkau,tentu kmi telah bereskan persoalan ini.sekarang,ketika engkau datang,engkaulah yang kami harap menyelesaikannya."
abu bakar medengarkan mereka dengan penuh perhatian hingga akhirnya mereka pergi. kemudian Abu bakar mencari tau dimana Muhammad berada.ia mendengar bahwa Muhammad ada dirumah khadijah.Ia pun bergegas kesana.
begitu bertemu dengan Muhammad,Abu bakar langsung bertanya mengapa ia menentang agama leluhur yang telah dianut masyarakatya sekian lama. Rosulullah menjawab "wahai abu bakar,aku adalah utusan Allah kepadamu dan kepada seluruh manusia.maka berimanlah kepada Allah."
abu bakar kembali bertanya,"bukti apa yang kau miliki?"
"lelaki tua yang menemui mu di yaman"
lelaki tua yang mana?"
"lelaki tua yang menitipkan beberapa syair untuku."
Abu bakar terkejut."siapa yang memberitahumu tentang hal itu?"
"ulurkan tanganmu,muhammad.aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan engkau rosulullah."
Sabtu, 25 Juni 2011
Masuk IsLamNya Al-Faruq Umar Bin Al-Khoththob
Pernahkah saudara mendengar nama Umar bin Al-Khoththob…? Ya beliau adalah salah seorang sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Umar adalah seorang sahabat yang sangat pemberani, kokoh, tegas, dan kuat perkasa.
Manusia takut kepadanya. Bahkan syaithonpun takut kepadanya. Hingga, jika syaithon berjumpa dengan Umar, mereka menyingkir memilih jalan yang lain. Wah masya Allah, betapa hebatnya Umar bin Al-Khoththob ya!
Tapi, bagaimana sih sejarah masuk Islamnya beliau? Bagaimana seorang yang keras wataknya, seperti Umar bisa menerima agama baru yang menentang agama nenek moyangnya…?
Nah mari kita simak….
Umar bin Al-Khoththob adalah seorang yang mempunyai watak yang keras dan sangat menjaga kehormatan dirinya. Dahulu di masa jahiliyyah, beliau sangat keras permusuhannya terhadap Islam dan orang-orang muslim.
Umar bin Al-Khoththob masuk Islam pada bulan Dzulhijjah pada tahun ke 6 dari nubuwwah. Sebelumnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berdoa kepada Allah untuk keislamannya, “Ya Allah, kokohkanlah Islam dengan salah satu dari dua orang yang paling Engkau cintai yaitu Umar bin Al-Khoththob atau dengan Abu Jahl bin Hisyam.” Ternyata orang yang paling dicintai oleh Allah adalah Umar bin Al-Khoththob Radiyallahu ‘anhu.
Umar bin Al-Khoththob Mendengarkan bacaan Al-Qur’an
Pada suatu malam, Umar bin Al-Khoththob keluar dari rumahnya dan berjalan hingga ke Baitul Haram. Sesampainya di sana, beliau menyibak kain penutup Ka’bah. Umar bin Al-Khoththob melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang membaca surat Al-Haqqoh.
Umar bin Al-Khoththob menyimak bacaan Al-Qur’an. Dia sangat takjub dengan susunan bahasanya. Dia berkata dalam hatinya, “Demi Allah, tentunya ini adalah ucapan seorang penyair yang biasa diucapkan orang-orang Quraisy.”
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat:
“Sesungguhnya Al-Qur’an itu adalah benar-benar wahyu Allah yang diturunkan kepada Rasul yang mulia. Dan Al-Qur’an itu bukan perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kalian beriman kepadanya.” (AL-Haqqoh ayat 40-41)
Kemudian Umar bin Al-Khoththob berkata dalam hatinya, “Kalau begitu, ucapan tukang tenung.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca:
“Dan bukan pula perkataan tukang tenung. Sedikit sekali kalian mengambil pelajaran darinya. Ia adalah wahyu Allah yang diturunkan dari Rabb semesta alam.”
(AL-Haqqoh ayat 42-43)
Selanjutnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca sampai akhir ayat. Mulai saat itulah benih-benih Islam mulai merasuk dalam hati Umar bin Al-Khoththob. Namun sifat jahiliyyahnya masih kuat dalam hatinya, sehingga ia tetap bersikeras memusuhi Islam.
Ingin Membunuh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Pada suatu hari, Umar bin Al-Khoththob keluar rumah sambil menghunus pedang. Tujuannya adalah membunuh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun ditengah jalan dia berpapasan dengan Nu’aim bin Abdullah An-Nahham Al-‘Adwy.
Nu’aim berkata, “Hendak kemana engkau wahai Umar?”
Umar menjawab, “Aku ingin membunuh Muhammad!”
Nu’aim berkata lagi, “Apa yang menjamin keamanan dirimu dari pembalasan bani Abdul Manaf jika engkau membunuh Muhammad? Kenapa engkau tidak pulang kepada keluargamu dan menangani permasalahan mereka?”
Kata Umar, “Ada apa dengan keluargaku?”
Nu’aim menjawab, “Saudara perempuanmu, Fathimah bintu Al-Khoththob dan suaminya Sa’id bin Zaid bin ‘Amr sungguh telah masuk Islam dan mengikuti agama Muhammad.”
Sekali lagi Mendengar Bacaan Al-Qur’an
Kemudian, dengan tergesa-gesa Umar berbalik arah menuju rumah adiknya. Ketika itu, dirumah Fathimah ada Khobbab bin Al-Arot yang sedang membacakan surat Thoha kepada Fathimah dan suaminya.
Tatkala mendengar suara Umar bin Al-Khoththob, maka Khobbab menyingkir dan bersembunyi disalah satu ruangan. Sedangkan Fathimah menyembunyikan shohifah (lembaran) Al-Qur’an. Ketika mendekati rumah tersebut sesungguhnya Umar bin Al-Khoththob telah mendengar bacaan surat Thoha.
“Suara apa yang tadi aku dengar?” tanya Umar ketika sudah memasuki rumah.
Fathimah dan suaminya menjawab, “Engkau tidak mendengar apa-apa?”
Maka kata Umar, “Demi Allah, sungguh aku telah mendapatkan berita kalian berdua telah mengikuti agama Muhammad.”
Sa’id bin Zaid berkata kepada Umar, “Apa pendapatmu jika kebenaran ada dalam agama selain agamamu?”
Seketika itu Umar melompat dan menginjaknya keras-keras. Fathimahpun bangkit untuk menolong suaminya. Namun Umar bin Al-Khoththob memukul Fathimah hingga wajahnya berdarah.
Karena Umar bin Al-Khoththob bersikeras, maka Fathimah dan suaminya berkata, “Ya. Kami telah masuk Islam dan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Silahkan perbuat apa yang kamu inginkan kepada kami.”
Ketika itu, Umar melihat darah di tubuh Fathimah. Ia menyesali tindakannya dan menyadari kekeliruannya.
Kemudian Umar berkata kepada adiknya, “Berikan lembaran yang aku dengar tadi, agar aku melihat apa sesungguhnya yang dibawa muhammad.” Jawab Fathimah, “Sungguh kami kuatir engkau merampas lembaran ini.” Umar berkata, “Engkau tidak perlu takut.”
Umar lalu bersumpah untuk mengembalikan lembaran itu jika selesai membacanya.
Setelah itu Umar memegang shohifah Al-Qur’an. Dia mulai membaca:
“Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Penyayang.”
Lalu Umar berkata, “Nama-nama yang bagus dan suci.” Kemudian dia membaca (surat) “Thoha” hingga berhenti pada ayat :
“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah. Tidak ada sesembahan yang benar selain Aku. Maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku.”
Selanjutnya Umar berkata kepada Fathimah dan suaminya, “Alangkah indah dan mulia kalam ini.”
Tatkala Khobbab mendengar perkataan Umar ini, dia segera muncul dari persembunyiannya, lalu berkata, “Terimalah kabar gembira wahai Umar, karena aku benar-benar berharap agar doa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam jatuh kepada dirimu.
Karena aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa, “Ya Allah, kokohkanlah Islam dengan salah satu dari dua orang yang paling Engkau cintai yaitu dengan Umar bin Al-Khoththob atau dengan Abu Jahl bin Hisyam.
Kemudian Umar bin Al-Khoththob berkata, “Wahai Khobbab, tunjukkan kepadaku di mana Muhammad berada, karena aku akan ke sana kemudian masuk Islam.”
Khobbab menjawab, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat ini berada di suatu rumah di kaki bukit Shofa bersama beberapa orang sahabatnya.”
Masuk Islam
Kemudian Umar bin Al-Khoththob memungut pedangnya dan menghunusnya. Dia berjalan menuju tempat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salla, lalu ia mengedor pintu. Salah seorang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengintip dari celah-celah pintu dan melihat sosok Umar bin Al-Khoththob sedang menghunus pedangnya.”
Sahabat tadi kembali kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan takut, lalu ia berkata, “Wahai Rasulullah, dia Umar bin Al-Khoththob sedang menghunus pedangnya.”
Hamzah bin Abdul Muththolib berkata, “Biarkan dia masuk! Jika ia menginginkan kebaikan kita berikan kepadanya. Jika dia menginginkan keburukan, kita bunuh dengan pedangnya sendiri.”
Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Biarlah dia masuk!” Salah seorang sahabat lalu membukakan pintu untuk Umar.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyongsong kedatangannya di suatu ruangan. Beliau memegang ikatan baju dan pegangan pedangnya lalu menarik dengan tarikan yang keras seraya berkata, “Apakah engkau tidak mau menghentikan tindakanmu wahai Umar, hingga Allah menurunkan kehinaan dan bencana seperti yang menimpa A-Walid bin Al-Mughiroh? Ya Allah, inilah Umar bin Al-Khoththob, kokohkanlah Islam dengan Umar bin Al-Khoththob.”
Umar berkata, “Wahai Rasulullah! Aku datang kepadamu untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan kepada apa yang datang dari Allah.” Mendengar jawaban Umar, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir dengan keras.
Karena takbir Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam inilah para sahabat yang berada di rumah itu mengetahi bahwa Umar bin Al-Khoththob telah masuk Islam.
Selanjutnya para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit dari tempat mereka dan merasa kuat dengan keislaman Umar bin Al-Khoththob dan Hamzah bin Abdul Muththolib. Karena mereka tahu, keduanya akan membentengi dan membela Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Keislaman Umar bin Al-Khoththob mengguncangkan orang-orang musyrik dan menjadikan kehinaan bagi mereka. Namun sebaliknya, dengan keislaman Umar bin Al-Khoththob justru mendatangkan kemuliaan, kekuatan dan kegembiraan bagi orang-orang Muslim.
Minggu, 27 Maret 2011
Richard Dickson Crane, Penasihat Presiden yang Terpesona oleh Shalat
Berbagai posisi penting dalam pemerintahan Amerika Serikat (AS) pernah ditempati Robert Dickson Crane. Dia pernah menjabat sebagai penasihat politik luar negeri untuk Presiden AS ke-37, Richard Nixon, dari 1963 sampai 1968, dan untuk waktu yang sangat singkat menjabat wakil direktur perencanaan Dewan Keamanan Nasional pada masa pemerintahan Nixon, serta menjadi duta besar untuk Uni Emirat Arab (UEA) di masa pemerintahan Presiden Ronald Reagan. Setelah memeluk Islam, lelaki kelahiran Cambridge, Massachusetts, AS, 26 Maret 1929 ini lebih banyak berkecimpung dalam berbagai kegiatan yang mengkampanyekan tentang Islam.
Nenek moyang Crane dari garis ibu berasal dari daratan Eropa yang bermigrasi ke wilayah Amerika. Keluarganya datang ke New Haven, Connecticut, pada 1636. Beberapa di antara mereka menetap di Elizabethtown (sekarang Elizabeth), New Jersey. Sementara nenek dari pihak ayahnya berasal dari suku Indian Cherokee.
Meski berasal dari kalangan suku Indian, namun keluarga besar Crane tetap menomor satukan urusan pendidikan. Ayah Crane merupakan seorang pengajar pada Fakultas Ekonomi Universitas Harvard. Sementara keluarga besar ibunya dikenal publik Amerika sebagai salah satu penyokong finansial Universitas Northwestern. Karenanya tak mengherankan jika sedari kecil hingga dewasa ia mendapatkan pendidikan yang memadai.
Selepas menamatkan pendidikan menengah atas, Crane sempat berkuliah di Universitas Harvard, namun tidak sampai tamat. Kemudian ia melanjutkan pendidikan setingkat sarjana muda di Universitas Northwestern. Setelah lulus dari Northwestern, ia diminta untuk membantu menjalankan usaha keluarga. Kemudian kedua orang tuanya memintanya untuk melanjutkan kuliah di Fakultas Hukum Harvard.
Sejak muda, Crane gemar menulis berbagai artikel. Salah satu artikel yang pernah ditulisnya adalah mengenai strategi ruang angkasa Soviet. Ketika pecah Krisis Misil Kuba, ia menulis sebuah artikel panjang tentang strategi perang psikis.
Tanpa ia duga artikel tersebut dibaca oleh mantan orang nomor satu di Amerika, Richard Nixon. Nixon membacanya di atas pesawat dalam penerbangan dari California ke New York. ”Dia memanggil saya segera setelah mendarat, pada Januari 1963, dan bertanya apakah saya bersedia menjadi penasihatnya untuk urusan politik luar negeri.”
Sebagai penasihat presiden tentunya ia harus menguasai berbagai aspek persoalan terkait dengan politik luar negeri. Tugas utamanya saat itu adalah mengumpulkan artikel-artikel terbaik pada setiap pokok persoalan dan menggabungkan semua artikel tersebut menjadi buku ringkasan untuk dibaca oleh Nixon yang kala itu menjabat sebagai Wakil Presiden.
Nixon memang dikenal gemar membaca. Berbagai macam artikel dibacanya, salah satunya adalah mengenai agama. Ia tertarik untuk membaca tentang bermacam-macam agama. Dan dia ingin mengetahui tentang Islam. ”Saat itu saya telah membaca sedikit tentang Islam, sebab saya pikir Islam akan menjadi sekutu Amerika Serikat yang paling kuat dan tahan lama untuk melawan Komunisme. Sebab kami berdua, saya dan Nixon, memandang Komunisme sebagai ancaman dunia,” ungkap Crane.
Saat Nixon hendak mencalonkan diri sebagai Presiden AS, Crane termasuk salah satu orang terdekat Nixon yang tidak memberikan dukungan. Terlebih lagi pemikirannya yang kerap bersebrangan dengan ketua tim sukses Henry Kissinger, membuatnya disingkirkan selama masa kampanye 1968. Setelah terpilih menjadi Presiden AS ke-37, Nixon menunjuk Crane menjadi wakil direktur perencanaan untuk Dewan Keamanan Nasional. Sementara posisi direktur dipegang oleh Kissinger. Namun, hubungannya yang kurang harmonis dengan Kissinger membuat Crane tersingkir dari Dewan Keamanan Nasional.
Crane mengakui pada awalnya ia tidak pernah memikirkan Islam secara serius. Yang diketahuinya tentang Islam hanyalah bahwa orang Muslim yang baik harus membunuh orang Kristen dan surga orang Muslim seperti rumah pelacuran. ”Saya sangat muak dan tidak pernah berhasrat mempelajari agama ini. Agama ini sangat primitif. Dan saya menasihati Nixon untuk menggunakan Islam sebagai sekutu untuk melawan Komunis. Saya pikir Islam adalah agama yang menjijikkan, tetapi paling tidak, dapat digunakan untuk melawan Komunisme.”
Tetapi, sebuah perjamuan makan di Bahrain mengubah pandangannya tentang Islam. Saat itu musim panas tahun 1977, Crane beserta istrinya sedang berada di Bahrain. Di tengah suhu yang tidak bersahabat, jauh di atas 100 derajat, sang istri memintanya menemani melihat-lihat istana di Al-Muharraq, yang merupakan kota dagang tertua di dunia. Kota ini hanya terdiri dari lorong-lorong sempit, seperti sebuah jaringan jalan yang semrawut.
Kondisi jalan yang semrawut ini membuat Crane dan istrinya tersesat di tengah keramaian. Dalam kondisi bingung, tiba-tiba ada orang tua lewat di depannya dan mengajak Crane ke rumahnya yang berada tidak jauh dari lokasinya saat itu. Crane beserta istri kemudian menghabiskan sisa hari mereka di sana. Sang tuan rumah menjamu mereka dengan berbagai macam makanan. ”Kami berbicara tentang berbagai hal, dan dia mengatakan bahwa dia seorang Muslim. Saya sungguh terpesona karena dia benar-benar orang baik. Kami tidak pernah membicarakan tentang Islam. Kami berbincang tentang apa-apa yang baik di dunia, tentang hal-hal yang buruk di dunia, dan tentang apa yang penting di dunia. Juga tentang peran Tuhan di dunia, tetapi tidak mengenai agama Islam,” paparnya.
Momen tersebut benar-benar membekas dalam dirinya. Setelah perjamuan tersebut, Crane mulai berpikir apakah sebaiknya ia mulai mempelajari agama Islam. Ia pun mempelajari Islam, dan menyadari bahwa segala sesuatu dalam Islam adalah benar-benar apa yang selama ini selalu diyakininya.
Pada tahun 1980, ia berkesempatan mengikuti sebuah konferensi tentang gerakan Islam di New Hampshire. Seluruh pemikir besar dari gerakan Islam dunia hadir di sana. Ketika waktu makan siang tiba, Crane lebih memilih bergabung bersama para tamu asing. Yang ada dalam pikirannya saat itu hanyalah keinginan untuk belajar sebanyak mungkin dari mereka.
Tanpa banyak bertanya, Crane kemudian mengikuti langkah para delegasi asing ini ke sebuah ruangan yang lantainya ditutupi permadani. Semula ia mengira mereka akan makan siang. Namun, dia baru menyadari kalau hari itu adalah hari Jum’at. ”Mereka akan melakukan shalat Jum’at. Saya memutuskan sebaiknya saya meninggalkan mereka. Tetapi saya pikir itu akan menyinggung perasaan mereka. Lalu saya hanya duduk di bagian belakang ruangan,” ujarnya mengenang peristiwa tersebut.
Yang bertindak selaku imam shalat saat itu adalah Hasan Al-Turabi, seorang tokoh terkemuka gerakan Islam internasional asal Sudan. Menyaksikan Al-Turabi bersujud, Crane pun terhenyak sesaat. ”Saya menyadari bahwa dia membungkuk kepada Allah. Jika dia dapat bersujud kepada Allah maka itu artinya dia sepuluh kali lebih baik dari saya. Saya memutuskan bahwa saya juga harus bersujud,” ujarnya. Dia merasa mendapatkan teladan dari situ. Saat itu juga, Crane bersujud dan memutuskan untuk menjadi seorang Muslim.
Ruben Sempat Mencemooh ‘Apa Belajar Islam? Itu Gila!’
Kisah pencarian Abu Bakar Ruben dimulai sejak ia berada di bangku kuliah. Saat itu ia ditimpa banyak masalah. Teman dekatnya meninggal karena kecanduan narkoba. Orangtuanya bercerai dan ia mengalami kesulitan keuangan.
“Saya pun mulai bertanya apa sebenarnya tujuan hidup itu?” tuturnya. Peristiwa sulit yang terjadi hampir bertubi-tubi itu menjadi katarsis bagi Ruben untuk melirik agama.
Ruben dibesarkan di Melbourne oleh orangtua yang tak percaya Tuhan. “Saat kecil saya memang dibesarkan untuk menganut Kristen, tapi orang tua saya atheis, sehingga saya cenderung memiliki pandangan atheis,” ungkap Ruben.
Agama pertama yang ia coba pelajari adalah Kristen. Kebetulan seorang teman mengundangnya untuk datang ke kemah keagamanan. “Mereka bernyanyi, suara mereka bagus, tapi saya bingung apa artinya,” tutur Ruben.
“Mereka kemudian bilang bahwa Tuhan mencintai saya.” Ruben keheranan. “Bagaimana mungkin tuhan mencintai saya sedangkan saya punya anjing dia tidak tidak mencintai saya,” tuturnya. Rupanya saat itu kehidupan Ruben tak tentu arah. Ia bukan tipe orang yang bisa diandalkan, meskipun yang meminta bantuan adalah orang tuanya dan ia memiliki seekor anjing yang kemudian tak pernah ia urus.
Tak menemukan apa yang ia cari ia pun melangkah lagi, kini giliran Katholik dan Anglican Baptis. Namun ada hal yang membuat ia terganggu setiap saat ia bertanya kepada pemeluknya. “Mereka akan membuka injil dan kemudian berkata ‘Oh jawabannya ini saudaraku’ sambil beropini,” tutur Ruben.
“Setiap kali mereka menjawab mereka beropini, sehingga saya menyimpulkan tentu banyak sekali intepretasi dalam Kristen,” katanya. Padahal, lanjutnya, itu belum termasuk perbedaan dalam gereja.
Antara satu pendeta dengan pendeta lain bisa memiliki intepretasi berbeda dan saling mengklaim satu sama lain. “Injil satu rasa tapi intepretasi bermacam dan setiap orang bisa melakukan, itu sangat membingungkan,” ujarnya.
Berikutnya ia melakukan persentuhan dengan Hindu. Ia berteman dengan seorang penganut keyakinan tersebut saat bekerja paruh waktu. “Saya kemudian dikenalkan dengan tuhan berkepala gajah.” Lagi-lagi Ruben bertanya, mengapa tuhan harus berkepala gajah, apa hubungan gajah dengan tuhan. “Mengapa tidak singa? lebih perkasa. Bagi saya sangat tidak logis dan sulit untuk dipahami.”
Menginvestigasi lebih jauh ia menyelidiki agama Yahudi. “Ya nama saya Abu Bakar Ruben, berasal dari Rubenstein, nama yang sangat Yahudi karena itu saya juga mencoba mencari tahu apa itu Yahudi,’ tuturnya. Namun tak ada satupun dari keyakinan itu yang mengena di hatinya.
Hingga suatu saat ia bertemu temanya yang beragama Kristen. “Saya ditanya bagaimana pencarianmu, apa saja yang sudah kampu pelajari?” kata Ruben menirukan ucapan si teman. Ia menjawab semua, mulai Kristen, Katholik, Hindu, Budha, Yahudi, Anglikan tapi tak ada yang bisa menarik hatinya.
Si teman bertanya lagi, “Bagaimana dengan Islam?”. Pertanyaan langsung disambar Ruben dengan cemooh, “Apa, Islam? Buat apa saya mengivestigasi agama terorisme? Itu gila.”
Tapi respon tubuh Ruben berkata lain. “Saya tidak tahu mengapa dan apa yang menggerakan saya, yang jelas saya mengenakan sepatu, berpakaian rapi dan pergi ke masjid. Saya tak punya petunjuk, bagaimana saya melakukan itu,” tutur Ruben.
Begitu masuk masjid, Ruben merasa cemas. “Saya berpikir ‘Aduh saya bakal mati di sini, saya satu-satunya kulit putih yang terlihat,” tuturnya. Ketika itu seorang pria Timur Tengah berperawakan besar dengan cambang tebal mengenakan abaya mendekatinya. Ia bernama Abu Hamzah.
Tiba-tiba diluar dugaan Ruben, Abu Hamzah menyapanya dengan ramah dan bahkan meminta seorang yang lain untuk membuatkan teh bagi Ruben. “Tak pernah saya bayangkan bakal mendapat perlakuan seperti itu,” kata Ruben.
Ia pun mulai banyak bertanya, tentang teman-temannya yang telah meninggal, tentang apa itu masa lalu dan masa yang akan datang. Abu Hamzah, seperti yang dituturkan Ruben, berdiri mengambil Al Qur’an dan membuka kitab itu lalu menunjukkan sebuah ayat dan meminta Ruben membaca seraya berkata ini jawabannya.
“Itu benar-benar menghentak saya,” kenangnya. Ia pun menanyakan hal-hal sulit lain, seperti mengapa menumbuhkan janggut, mengapat menggunakan hijab, mengapa memiliki istri empat. “Saya pikir itu adalah pertanyaan-pertanyaan sulit, tapi sungguh luar biasa, mereka selalu membuka Al Qur’an dan lalu memberikan kepada saya untuk dibaca. Itu selalu mereka lakukan sebelum mengulas lebih jauh dengan buku hadis yang juga ada di dalam masjid,” tutur Ruben.
“Mereka selalu membuka Al Quran untuk menjawab dan sama sekali tidak beropini,” ujarnya. Kemudian Ruben pun bertanya, “Saya ingin tahu tentang opini anda tentang ini, tentang aturan itu.” Diluar harapan Ruben, mereka menjawab, “Saya tidak mungkin dan tidak boleh beropini tentang Firman Tuhan”.
“Subhanallah, itulah yang benar-benar menyentuh saya dan selalu membuat saya teringat,” ujar Ruben yang telah memeluk Islam saat menuturkan kisahnya. Malamnya ia pun membawa pulang Al Quran. “Dan ketika saya membaca, saya bukan hanya menemukan kisah, tapi seolah-olah ada yang memandu saya.”
Ia memandang Al Qur’an tak hanya benar tetapi juga logis dan ilmiah. Ia takjub bagaimana Al Qur’an juga menguraikan proses penciptaan dan kelahiran manusia, penuturan proses sel telur yang dibuahi hingga tercipta gumpalan darah, tumbuh tulang, peniupan ruh hingga akhirnya membentuk janin yang siap dilahirkan ke bumi.
“Inilah yang saya cari, ini yang saya perlukan,” ujarnya. Butuh enam bulan sebelum ia sampai pada kesimpulan itu. Tapi ketika hendak membuat perubahan besar, Ruben menginginkan pembenaran lain untuk menguatkan keputusannya. “Saya sudah siap melakukan lompatan besar, tapi ingin satu dorongan saja, tak perlu besar, kecil pun cukup,” tuturnya.
Untuk itu ia bahkan melakukan dialog Tuhan. “Ayolah Allah satu saja,” ujarnya menirukan ucapannya sendiri saat itu. Ia duduk dam di tengah ruangan dengan satu lilin menyala. Lama ia menunggu. Tak satupun hal terjadi. “Terus terang sangat kecewa. ‘Aduh Engkau melewatkan satu kesempatan’” ujar Ruben saat itu kepada Tuhan.
Ia kembali menunggu pertanda kedua. Lagi-lagi tak ada perubahan, tak ada petunjuk. “Aduh tolong jangan kecewakan aku lagi. Saya lagi-lagi sungguh kecewa.” tutur Ruben yang akhirnya memutuskan membuka Al Quran. Ia terhenti oleh beberapa ayat, salah satunya berbunyi “Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami(nya) (QS 52:12)
Membaca ayat itu Ruben tersadar. “Betapa arogannya saya menuntut tanda spesifik seperti yang saya mau. Matahari dan semua ciptaannya di muka bumi adalah tanda bagi kita semua,” tutur Ruben.
Begitu yakin dengan keputusannya ia kembali berkunjung ke masjid. “Saya tidak tahu harus berbuat apa dan harus mengucapkan apa, jadi saya putuskan ke masjid.” Tiba di masjid Ruben terkejut menjumpai ruangan begitu penuh orang. Rupanya saat itu hari pertama Ramadhan.
Mengutarakan niatnya, ia pun diminta untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. “Sangat belepotan, pemandu saya bilang ‘Asyhadu’ saya jawab “As apa?” sampai berulang kali. Menggelikan.” kenang Ruben.
Si pemandu menegaskan pada Ruben bahwa ia harus mengucapkan itu dalam bahasa aslinya, Arab. Kalimat itu tak bisa diucapkan dalam bahasa Inggris. Berlatih beberapa saat, lidah Ruben akhirnya lancar mengucapkan ikrar tersebut. Pada hari pertama Ramadhan itu ia pun resmi menjadi Muslim.
Begitu selesai Ruben mengaku ada beban yang tertarik dan lepas keluar dari tubuhnya. “Saya merasa ringan,” ujarnya. Ia mengira saat itu akan mendapat sambutan teriakan dan takbir ‘Allahu Akbar’. “Tapi ternyata tidak, satu persatu mereka mendatangi saya, menjabat tangan saya dan mencium saya. Bahkan saya belum pernah mendapat ciuman sebanyak itu dari wanita,” tutur Ruben berkelakar.
“Tapi itu peristiwa luar biasa sangat berharga dan tidak bisa saya lupakan. Saya merasa bahagia karena saat itu juga saya mendapat banyak saudara.”
Mengetahui ia masuk Islam, orangtuanya sempat cemas. “Mereka takut tiba-tiba nanti saya sudah memanggul AK 47 dan memegang granat,” selorohnya. “Saya jelaskan itu tidak mungkin. Terus terang saya merasa tenang. Mental saya lebih stabil, saya juga lebih fokus dan mereka (orangtua-red) melihat perubahan itu.” tutur Ruben.
Penasaran, ayahnya pun ikut membaca Al Qur’an. Mereka berkata kepada Ruben sejak menjadi Muslim ia menjadi pribadi lebih baik. “Kamu menjadi orang yang lebih bisa diandalkan, dipercaya dan bisa diminta tolong,’kata Ruben menirukan ucapan ayahnya. “Itulah yang saya rasakan dan saya akan terus meyakini dan mendalami agama ini.”
Sabtu, 15 Januari 2011
Joseph Cohen ( Sekeluarga Yahudi Masuk Islam)
Kisah Sekeluarga Yahudi Masuk Islam
Pada tahun 1998, Joseph Cohen seorang Yahudi Ortodoks kelahiran AS hijrah ke Israel kerana keyakinannya yang sangat kuat pada ajaran Yahudi. Dia kemudian tinggal di pemukiman Yahudi Gush Qatif di Gaza (Israel berundur dari wilayah Jalur Gaza pada tahun 2005).
Cohen tak pernah menyangka bahwa kepindahannya ke Israel akan membawanya pada cahaya Islam. Setelah tiga tahun menetap di Gaza, Cohen memutuskan untuk menjadi seorang Muslim setelah dia bertemu dengan seorang syeikh berasal dai UAE dan berdiskusi tentang teologi dengan syeikh tersebut melalui internet. Setelah masuk Islam, Cohen mengganti namanya dengan nama Islam Yousef al-Khattab.
Tak lama setelah dia mengucapkan syahadat, isteri dan empat anak Yousef mengikuti jejaknya menjadi Muslim. Sekarang, Yousef al-Khattab aktif berdakwah di kalangan orang-orang Yahudi, meskipun d ia sendiri tidak diakui lagi oleh keluarganya yang tidak suka melihatnya masuk Islam.
"Saya sudah tidak lagi berhubungan dengan keluarga saya. Kita tidak boleh memutuskan hubungan kekeluargaan, tapi pihak keluarga saya adalah Yahudi dengan entiti ke-Yahudi-annya. Kami tidak punya pilihan lain, selain memutuskan hubungan untuk saat ini. Kata-kata terakhir yang mereka lontarkan pada saya, mereka mengatakan saya barbar," tutur Yousef tentang hubungan dengan keluarganya sekarang.
Dia mengakui, berdakwah tentang Islam di kalangan orang-orang Yahudi bukan pekerjaan yang mudah. Menurutnya, yang pertama kali harus dilakukan dalam mengenalkan Islam adalah, bahawa hanya ada satu manhaj dalam Islam iaitu manhaj yang dibawa oleh Rasululullah saw yang kemudian diteruskan oleh para sahabat-sahabat dan penerusnya hingga sekarang.
"Cara yang paling baik untuk membuktikan bahawa Islam adalah agama untuk semua umat manusia adalah dengan memberikan penjelasan berdasarkan ayat-ayat al-Quran dan yang membezakan antara umat manusia adalah ketaqwaannya pada Allah semata," ujar Yousef.
"Islam bukan agama yang rasis. Kita punya bukti-bukti yang sangat kuat, firman Allah dan perkataan Rasulullah saw. Kita berjuang bukan untuk membenci kaum kafir. Kita berjuang hanya demi Allah semata, untuk melawan mereka yang ingin membunuh kita, yang menjajah tanah air kita, yang menyebarkan kemungkaran dan menyebarkan ideologi Barat di negara kita, misalnya ideologi demokrasi," sambung Yousef.
Dia mengatakan bahawa dasar ajaran agama Yahudi sangat berbeda dengan Islam. Perbedaan utamanya dalam masalah tauhid. Agama Yahudi, kata Yousef percaya pada perantara dan perantara mereka adalah para rabbi. Orang-orang Yahudi berdoa melalui perantaraan rabbi-rabbi mereka.
"Yudaisme adalah kepercayaan yang berbasiskan pada manusia. Berbeza dengan Islam, agama yang berbasis pada al-Quran dan Sunnah. Dan keyakinan pada Islam tidak akan pernah berubah, di semua masjid di seluruh dunia al-Quran yang kita dengarkan adalah al-Quran yang sama," ujar Yousef.
Lebih lanjut dia mengatakan bahwa Yahudisme di sisi lain berpatokan pada "tradisi oral" misalnya kitab Talmud yang disusun berdasarkan informasi dari mulut ke mulut yang kemudian dibukukan. Para rabbi sendiri, kata Yousef mengakui, mungkin saja banyak hal yang sudah orang lupa sehingga keabsahan kitab tersebut boleh dipersoalkan.
Yousef mengungkapkan, kitab Taurat yang diyakini kaum Yahudi sekarang memiliki sebelas versi yang berbeza dan naskah-naskah Taurat itu bukan lagi naskah asli. "Alhamdulillah, Allah memberikan rahmat pada kita semua dengan agama yang mudah, di mana banyak orang yang mampu menghafal al-Quran dari generasi ke generasi. Allah memberkati kita semua dengan al-Quran," tegas Yousef. Meski demikian, dia meyakini dialog adalah cara terbaik dalam berdakwah terutama di kalangan Yahudi.
Ditanya tentang kelompok-kelompok Yahudi yang mendakwa anti-Zionis. Yousef menjawab bahawa secara pribadi maupun dari sisi religius, dia tidak percaya dengan Yahudi-Yahudi yang mendakwa anti-Zionis. "Dari sejarahnya saja, mereka adalah orang-orang yang selalu melanggar kesepakatan. Mereka membunuh para nabi, oleh sebab itu saya tidak pernah percaya pada mereka, meskipun Islam selalu menunjukkan sikap yang baik pada mereka," paparnya.
Yousef menegaskan bahawa pernyataannya itu bukan untuk membela orang-orang Palestin ataupun atas nama seorang Muslim. Pernyataan itu merupakan pendapat peribadinya. "Allah Maha Tahu," tegasnya.
Sebagai orang yang pernah tinggal di pemukiman Yahudi di wilayah Palestin, Yousef mengakui adanya diskriminasi yang dilakukan pemerintah Israel terhadap Muslim Palestin. Yousef sendiri pernah dipukul oleh askar-askar Israel meskipun tidak seburuk perlakuan askar-askar Zionis itu kepada warga Palestin.
"Saya masih beruntung, penderitaan yang saya alami tidak seberat penderitaan saudara-saudara kita di Afghanistan yang berada dibawah penjajahan AS atau saudara-saudara kita yang berada di kem penjara AS di Kuba (Guantanamo)," imbuhnya dengan rasa syukur.
Allah memberikan hidayah pada umatnya, kadang-kadang dengan cara yang tak terduga. Seperti yang dialami Cohen atau Yousef yang terus masuk Islam setelah pindah ke wilayah pendudukan Israel di Gaza. (ln/readingislam)